Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Singapura Menjadi Tempat Persembunyian Koruptor

Kompas.com - 08/06/2011, 02:40 WIB

Jakarta, Kompas - Hingga kini Singapura masih menjadi tempat persembunyian strategis bagi koruptor dari Indonesia. Sebab, perjanjian ekstradisi di antara kedua negara belum berlaku meski sudah ada sebab Dewan Perwakilan Rakyat belum meratifikasi perjanjian itu sejak tahun 2007.

”Perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura sudah ada. Namun, perjanjian ini tak berlaku karena belum diratifikasi,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Senin (6/6) di Kampus Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Situasi ini, kata Mahfud, menjadi celah bagi koruptor dari Indonesia, termasuk mereka yang diduga terlibat korupsi, untuk berlari ke Singapura dan bersembunyi di sana. Apalagi, untuk pergi ke Singapura, seseorang hanya membutuhkan paspor dan tak perlu mempergunakan visa.

”Karena tidak ada perjanjian ekstradisi yang ditandatangani Indonesia, Polri tak boleh beroperasi di Singapura tanpa izin pemerintah setempat,” ujarnya lagi.

Mahfud berpendapat, setiap perjanjian di antara dua negara yang menyangkut pertahanan dan keamanan, kedaulatan, serta kriminal berat harus lekas diratifikasi. Karena itu, perjanjian ekstradisi antara Singapura dan Indonesia harus segera diratifikasi. Dengan demikian, koruptor bisa ditarik pulang ke Indonesia bersama dana yang mereka bawa.

Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin di Jakarta, Selasa, mengakui banyak kejanggalan dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura di Bali. Namun, perjanjian itu tak dapat dipisahkan dari perjanjian kerja sama pertahanan (DCA). Ketika hendak diratifikasi, anggota DPR periode 2004-2009 melihat ada beberapa kejanggalan.

Hal ini terutama berkaitan dengan penjelasan Indonesia akan memberikan tanah seluas 32.000 hektar untuk latihan bersama antara TNI dan Singapura. Wilayah yang diminta adalah di Baturaja, Sumatera Selatan. ”Secara politis, menukar orang yang bermasalah secara hukum dengan wilayah untuk berlatih sangat tak menguntungkan,” kata Hasanuddin. Syarat ini merugikan kepentingan Indonesia. (abk/edn)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com