Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korupsi dan Demokrasi

Kompas.com - 18/05/2011, 02:49 WIB

Teten Masduki

Perkembangan demokrasi di Tanah Air, yang mengalami kemajuan sangat mengagumkan sejak Pemilu 1999, dalam usianya yang relatif masih muda belia harus menanggung beban yang begitu berat.

Ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap demokrasi bahwa demokrasi dapat mengikis sedimen korupsi pemerintahan otoriter Soeharto pada masa lalu masih jauh dari harapan. Kini korupsi justru terus tumbuh di tengah kian rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap akuntabilitas dan kinerja lembaga demokrasi, terutama parpol serta parlemen (dan hukum).

Ancaman kemunduran demokrasi telah diperlihatkan oleh Freedom Barometer Asia 2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Friedrich Naumann Stiftung Regional Asia Tenggara dan Timur untuk mengukur tingkat kebebasan di bidang politik, ekonomi, dan penegakan hukum. Lemahnya penegakan hukum dan penanganan korupsi serta intervensi pengaruh di luar proses demokrasi membuat Indonesia menempati peringkat ke-6 dengan total nilai 58,52, turun dibandingkan 2009 (63,47).

Mencuatnya kasus dugaan suap dalam pembangunan wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang, yang menyeret Sekretaris Kemenpora serta bendahara umum dan salah seorang wakil sekjen Partai Demokrat, sesungguhnya hanya mengonfirmasi fenomena korupsi politik yang kian mapan. Dalam lima kali survei Global Corruption Barometer, sejak 2004 parpol bersamaan dengan lembaga peradilan selalu dalam urutan teratas lembaga-lembaga yang rentan terhadap korupsi.

Perdagangan pengaruh politik sangat kental dalam kasus pembangunan wisma atlet SEA Games 2011. Tugas KPK mendalami bekerjanya suap di sini mulai dari penetapan kontraktor pemenang hingga mungkin penyuapan untuk menggelembungkan nilai kontrak dengan dukungan pemegang otoritas anggaran atau dalam upaya menurunkan kualitas proyek.

Pembayaran suap itu mungkin saja untuk kepentingan pribadi atau juga kontribusi bagi dana politik yang tidak legal. Biasanya pengaruh politik tidak berhenti sampai di situ, tetapi akan bekerja dalam upaya pembelaan terhadap anggotanya yang terlibat dalam kasus korupsi yang dalam hal ini ibarat koloni lebah pekerja pengumpul polen dan madu bagi parpol.

Kasus ini juga meneguhkan asumsi masyarakat akan realitas distribusi sumber daya ekonomi di antara partai politik anggota kabinet multipartai yang belakangan semakin terkonsolidasi untuk kelangsungan kepentingan politik jangka panjang mereka. Untung saja ada KPK dan berkah kebebasan media sehingga kasus ini bisa terbongkar.

Barangkali kasus ini tak tunggal. Ibarat fenomena gunung es, bisa jadi akan disusul kasus-kasus serupa, sebagaimana lazimnya bahaya korupsi tak terkendali di suatu negara yang tengah mengalami transformasi kelembagaan pasca-pemerintahan otoriter yang masih lemah dan kepemimpinan politik yang lemah.

Kendati kasus ini sekarang dijadikan amunisi dalam persaingan politik, gelagatnya tidak akan lebih dari sekadar reklame politik. Atau mungkin mengarah pada persaingan untuk pendistribusian kekuasaan ekonomi ketimbang sebagai upaya antikorupsi yang serius. Sudah banyak bukti kasus megakorupsi yang dijadikan komoditas politik di DPR dan kasusnya lenyap begitu saja atau terbenam oleh kasus korupsi politik yang mencuat belakangan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com