Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengkhianati Pancasila

Kompas.com - 14/05/2011, 03:39 WIB

Oleh Radhar Panca Dahana

Enggak tahu! Mungkin begitu jawaban saya bila ada seseorang mendesak saya terus dengan pertanyaan, ”Apa sih arti Pancasila?”

Sebagian dari saya akan menjawab, ”Enggak hafal!”, bila ada yang menanyakan urutan isi Pancasila. Dan, bila ada pertanyaan lebih spesifik, ”Lalu apa pedulimu dengan Pancasila?”, sebagian kecil lagi dariku akan menjawab, ”Enggak peduli.”

Jawaban-jawaban di atas tampaknya terlalu ekstrem bagi sebuah persoalan yang dianggap sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa kita sekarang ini. Namun, saya akan menganggapnya lumrah saja. Bukan sebagai afirmasi bahwa begitulah kenyataan alamiah atau ilmiah yang ada, melainkan sebagai pengakuan pada realitas aktual pada diri kita sebagai sebuah bangsa, di kalangan anak muda dan remaja khususnya. Senang atau tidak.

Tentu kenyataan aktual itu sebagian akibat dari cara kita bersikap dan berpikir. Kita singkirkan Pancasila sebagai dasar hidup, mulai dari kurikulum pendidikan hingga cara kita menghadapi persoalan- persoalan mutakhir. Sikap itu muncul hanya karena ”dendam” berlebihan kepada Soeharto, termasuk pada produknya, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila alias P4 sebagai santiaji ideologis yang dianggap memerangkap kita ke dalam kultur dan legitimasi kekuasaan (Jawa) ala presiden yang digulingkan itu.

Namun, ”kekonyolan” era Reformasi itu hanyalah sebagian dari penyebab. Iklim kebebasan individu yang jadi dasar salah satu perjuangan gerakan di akhir abad ke-20 itu telah memberi andil tidak kecil pada munculnya kenyataan aktual di atas. Mantra ”kebebasan” seperti obat ajaib yang memermisikan kita, mau tidak mau, sengaja atau tidak, menerima asupan ide-ide baru dalam jumlah tidak terbatas.

Perhatikan diri kita sendiri, terutama yang muda—remaja dan anak-anak, mulai dari membelalakkan mata di dini hari hingga memejamkannya di malam hari. Atas nama kebebasan, kita dihadapi oleh informasi tak tepermanai dari semua media yang mungkin hampir tanpa seleksi.

Sejak subuh, televisi sudah menyampaikan berita-berita ”seksi” yang diisi sebagian besar oleh penyimpangan perilaku para elite (politik, bisnis, agama, pendidik, akademik, kebudayaan), gaya hidup yang mendesak kita berkonsumsi melebihi kebutuhan, dan—terutama—teror yang kini terasa begitu dekat, bahkan hingga ke ruang privat kita.

Pancasila tumbang

Tanpa kita gusur Pancasila dari pori- pori kehidupan kontemporer, dasar negara yang genial itu pun akan segera kalah dengan serbuan ide di balik semua peristiwa media di atas. Kualitas dan kuantitas berita yang kian menggiriskan itu masih ditambah lagi dengan fantasi-fantasi visual-virtual yang disajikan bioskop, roman-roman, komik, puluhan saluran sinema dan reality show di TV kabel, Youtube, dan pelbagai media jaringan sosial, hingga mainan anak-anak yang hampir seluruhnya merangsang imajinasi koersif dan cara hidup materialistis-hedonis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com