Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerusuhan Mei

Kompas.com - 12/05/2011, 04:36 WIB

Oleh Bambang Widjojanto

Tragedi kemanusiaan dan korupsi politik. Banyak pihak mafhum, kerusuhan Mei pada 13 tahun lalu adalah tragedi nasional yang tidak saja telah meluluhlantakkan kehormatan kemanusiaan serta martabat bangsa dan negara, tetapi sekaligus menjadi penanda dimulainya era reformasi.

Era reformasi seyogianya juga diletakkan sebagai periode delegitimasi atas kekuasaan korup dari rezim otoritarian. Banyak kalangan juga sepakat, kerusuhan dimulai dengan krisis finansial Asia.

Pada konteks ini, ada dua hal terjadi, yaitu: pertama, krisis itu mendinamisasi pergulatan elite politik atas kelangsungan kekuasaan yang berujung pada delegitimasi kepemimpinan Soeharto yang juga dipicu dengan tragedi Trisakti karena empat mahasiswa Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.

Kedua, krisis dimaksud menguat dan jadi faktor determinan disebabkan oleh perilaku koruptif, kolusif dan nepotistik kekuasaan telah berada pada puncak kesempurnaannya sehingga memicu kemarahan publik untuk kemudian mendekonstruksinya.

Oleh karena itu, Tragedi Kemanusian Nasional 12 Mei 1998 dapat dilihat dalam dua perspektif. Pada aras pertama, masalah tragedi nasional dapat diletakkan dalam perspektif kemanusiaan atau hak asasi manusia. Hal ini tidak dapat disalahkan karena ada yang sangat menyakitkan dalam tragedi nasional itu. Rangkaian kekerasan yang terjadi dalam berbagai peristiwa dimaksud bersifat masif, terstruktur, dan sistematik. Kekerasan ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil berupa bangunan, toko, rumah, dan harta benda lainnya seperti mobil dan motor, tetapi juga korban manusia.

Data tim relawan menyebutkan, ada sekitar 1.220 orang meninggal akibat kebakaran, 27 orang mati akibat senjata, dan 165 orang luka-luka. Yang menarik, kekerasan yang terjadi tak hanya berupa penganiayaan fisik, tetapi juga kekerasan dalam bentuk pemerkosaan dan penganiayaan serta pelecehan seksual. Lebih dari itu, sejumlah korban penculikan hingga kini tak jelas keberadaannya.

Pada perspektif lain, kekuasaan yang otoriter telah menyebarluaskan sikap koruptif, kolusif dan nepotistik. Tindakan dan watak inilah yang jadi faktor utama yang membiarkan dan/atau menyebabkan rentannya ketahanan sistem ekonomi dan keuangan negara. Pada konteks seperti itu, dapat dipastikan, juga terjadi kejahatan kemanusiaan karena tindak korupsi itu membuat tidak bekerjanya secara optimal sistem dan manfaat pembangunan pada sektor-sektor yang menyangkut kepentingan atau pelayanan publik sehingga mengakibatkan masivitas kemiskinan.

Dalam kaitan dengan tragedi nasional Mei, masivitas KKN dalam kekuasaan membuat sistem ekonomi dan keuangan jadi rentan sehingga kolaps ketika terjadi krisis keuangan. Itu sebabnya, kebijakan politik awal pasca-mundurnya Soeharto 21 Mei 1998 merupakan respons konkret atas salah satu tuntutan yang paling mengemuka dalam gerakan mahasiswa pro-reformasi ”hapuskan KKN dan adili koruptor”. Pada saat itu ada komitmen politik yang dibuat MPR dengan membuat ketetapan yang secara eksplisit memperlihatkan keinginan kuat memberantas korupsi serta membentuk penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN.

Pada Konferensi Internasional Antikorupsi ke-11 di Seoul 2003 dikemukakan, korupsi dalam skala sangat besar dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat kemanusiaan. Konferensi itu mendeklarasikan: the large scale corruption should be designated a crime against humanity, as for many around the world it falls into the same category as torture, genocide and other crimes against humanity that rob humans of human dignity.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com