Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggota DPR Tak Mau Mendengar

Kompas.com - 07/05/2011, 03:15 WIB

Jakarta, Kompas - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dinilai tidak mau mendengar, tidak punya hati dan kepekaan terhadap protes yang dilancarkan masyarakat terhadap kunjungan kerja atau studi banding ke luar negeri. Ada kecurigaan terkait faktor finansial yang membuat DPR ngotot ke luar negeri.

”Mungkin ada anggota DPR yang tidak mau ke luar negeri, tetapi karena anggota DPR yang lain mau, jadi dia ikut karena ada solidaritas pertemanan, tak enak dengan anggota DPR lainnya,” kata sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, di Jakarta, Jumat (6/5).

Di sisi lain, bisa jadi kunjungan kerja atau studi banding ke luar negeri merupakan salah satu cara mengumpulkan uang. ”Kita tidak pernah tahu pasti berapa besar biaya perjalanan dinas anggota DPR. Harusnya dibuka saja berapa besar biayanya,” katanya. Menurut Imam, muncul kecurigaan di masyarakat bahwa ada faktor finansial yang harus diselidiki mengapa DPR selalu ngotot ke luar negeri.

”Bisa jadi orang itu pulang membawa lebihan yang cukup signifikan. Saya menduga insentif ke luar negeri itu besar, atau bisa jadi ada dorongan untuk menyetor ke partai. Income anggota DPR itu kan juga ada yang disetor ke partai. Bisa jadi anggota DPR saat kampanye pencalonannya berutang, dan kesempatan ke luar negeri itu upaya membayar utang. Ini baru dugaan-dugaan dan harus kita selidiki,” tutur Imam.

Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dan Badan Legislasi DPR, Ahmad Yani dari Partai Persatuan Pembangunan, menyatakan, terkait dengan masalah anggaran kunjungan kerja atau studi banding anggota DPR ke luar negeri, semuanya diurus Sekretariat Jenderal DPR.

”Setjen yang meng- urus soal pesawat, hotel, mengontak pihak-pihak yang akan didatangi di luar negeri. Sebelum berangkat, kami rapat negara mana yang akan dikunjungi, mau ke mana saja, ketemu siapa saja,” ujarnya.

Menurut Ahmad Yani, kelemahan DPR adalah seharusnya rencana kepergian anggota DPR tersebut dikomunikasikan kepada publik: mau ke mana, biayanya berapa, jadwalnya ke mana saja, harusnya dibuka ke publik.

”Studi banding atau kunjungan kerja dalam konteks tertentu masih diperlukan, misalnya, saat membahas UU Imigrasi kami studi banding ke Inggris karena sistem mereka paling bagus. Saya ikut, dan itu betul-betul kunjungan kerja. Di komisi saya tidak ada yang jalan-jalan. Kalau ada yang jalan-jalan, itu pelanggaran kode etik,” kata Ahmad Yani.

Terkait dengan uang saku atau insentif, menurut Ahmad Yani, besarnya sama dengan yang diterima pejabat eselon satu, sesuai dengan standardisasi Menteri Keuangan. ”Uang sakunya standar, tidak mungkin ada uang lebih, apalagi untuk setor ke partai, sangat tidak mungkin itu. Lagi pula saya juga memilah-milah mana kunjungan kerja yang saya ingin ikuti atau tidak. Kalau saya rasa tidak perlu ikut, saya tidak ikut, seperti kunjungan Badan Legislasi ke Jerman, saya tidak ikut,” tutur Ahmad Yani.

Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Jafar Hafsah di Makassar, Sulawesi Selatan, mengatakan, perencanaan yang lemah menyebabkan kunjungan kerja DPR umumnya kurang berjalan optimal. Efektivitas kunjungan kerja hanya dapat dicapai jika komisi menjalankan program yang telah disusun secara matang. ”Selama ini banyak program kunjungan kerja yang sasarannya kurang tajam sehingga saya sering menegur anggota DPR dari Partai Demokrat,” ungkap Jafar, Jumat.

Jafar juga menyayangkan bahwa pelaksanaan kunjungan kerja selama ini umumnya sekadar menghabiskan anggaran. Ia pun mendukung langkah pimpinan DPR untuk mengkaji ulang mekanisme kunjungan kerja. ”Kalau perlu, jumlah kunjungan kerja ke luar negeri dibatasi,” kata Jafar yang juga menjabat Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia ini. (RIZ/LOK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com