Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prioritaskan RUU KUHAP

Kompas.com - 04/04/2011, 03:13 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden perlu memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. RUU KUHAP sebagai payung hukum acara pidana dinilai lebih penting dan dapat menjamin kepastian penegakan hukum di Indonesia.

Hal tersebut terungkap dalam pertemuan lembaga-lembaga advokasi hukum dengan pers di Jakarta, Minggu (3/4). Lembaga-lembaga itu antara lain Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Masyarakat, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Presiden seharusnya meminta segera kementerian terkait mengajukan RUU KUHAP ke DPR untuk dibahas, bukannya justru mengajukan RUU sektoral yang justru berpotensi merusak sistem peradilan pidana, seperti RUU Intelijen Negara.

Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan LBH Jakarta Restaria Hutabarat menilai pembahasan RUU KUHAP sangat lambat karena adanya resistensi dari institusi penegak hukum. Oleh karena itu, peran Presiden untuk mengoordinasikan antarinstitusi penegak hukum, seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, serta Mahkamah Agung, sangat penting.

Kepala Divisi Advokasi PBHI Totok Yulianto mengingatkan, sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini dalam keadaan kritis. Alasannya, ketentuan KUHAP masih dilanggar. Ironisnya, RUU KUHAP yang amat dibutuhkan justru semakin tidak jelas perkembangan pembahasannya.

Misalnya, dalam RUU KUHAP diatur kewenangan hakim komisaris untuk mengontrol tindakan aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa, seperti penahanan, penyitaan, atau penggeledahan.

Dalam RUU KUHAP juga dinyatakan, penyidik harus mendapat izin dari hakim komisaris dalam menggeledah rumah, bangunan tertutup, atau kapal.

Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengatakan bahwa pemerintah tentu akan memproses RUU KUHAP pada waktunya. Saat ini KUHAP sudah berjalan dengan baik. ”Memang ada keinginan untuk menyempurnakan. Namun, perlu kajian lagi lebih mendalam,” kata Patrialis.

Patrialis mencontohkan, ketentuan bahwa penyidik, seperti polisi, harus mendapat izin penangkapan atau penahanan dari hakim komisaris.

”Wilayah Indonesia begitu luas dan merupakan wilayah kepulauan. Bayangkan, kalau polisi harus meminta izin dulu hakim komisaris setiap kali mau menangkap, apalagi di daerah terpencil. Itu kan tidak mudah dan penjahatnya keburu lolos,” katanya.

Kondisi itu, lanjut Patrialis, juga dapat menjadi kontraproduktif. Aparat kepolisian dapat dinilai tidak dapat menjalankan tugas dengan baik. Namun, Patrialis mengakui bahwa kewenangan aparat polisi dalam penangkapan dan penahanan harus dapat dikontrol mengingat adanya oknum-oknum aparat kepolisian yang berperilaku di luar kontrol. (FER)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com