Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Margin Apresiasi HAM

Kompas.com - 08/03/2011, 04:05 WIB

Oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara

Amandemen kedua UUD 1945 mencantumkan suatu daftar panjang hak asasi manusia. Sejak itu HAM tidak lagi semata-mata hak yang dituntut atas dasar moral atau undang-undang, tetapi juga merupakan hak konstitusional yang wajib dihormati oleh otoritas negara: pemerintah, DPR, dan badan peradilan.

Otoritas negara diwajibkan pula memenuhi kewajibannya di bawah berbagai kovenan internasional yang diratifikasi oleh DPR, antara lain kovenan internasional hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta kovenan internasional hak-hak sipil dan politik. Selain itu, otoritas negara diwajibkan pula memajukan dan melindungi HAM sebagaimana tertuang dalam UU HAM.

Semua produk hukum HAM itu merupakan legitimasi hukum dan politik bagi bekerjanya sistem pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Hukum HAM mewajibkan otoritas negara melindungi hak dan kebebasan dasar tersebut. Pertanyaannya, apakah kewajiban itu bersifat mutlak atau relatif?

Kewajiban mutlak berarti tak ada ruang bagi otoritas negara untuk menawar kecuali menjalankan kewajiban melindungi HAM. Kewajiban relatif berarti (atas pertimbangan politik, sosial, ekonomi, budaya, khususnya kesejahteraan publik), otoritas negara punya diskresi mengatur pelaksanaan HAM yang dapat berakibat pada pembatasan, bahkan pelanggaran HAM. Dalam konteks kewajiban relatif otoritas negara untuk melindungi HAM itulah, kita membahas doktrin margin apresiasi HAM.

Kasus di Eropa

Ajaran margin apresiasi ditemukan dalam yurisprudensi hukum administrasi Conseil d’etat di Perancis, marge d’appreciation, yang kemudian diadopsi oleh Pengadilan HAM Eropa di Strasbourg. Doktrin margin apresiasi sesungguhnya didasarkan pada suatu paham bahwa setiap masyarakat berhak atas suatu ruang gerak untuk menyeimbangkan hak-hak individu dan kepentingan nasionalnya, serta menyelesaikan perselisihan yang muncul sebagai akibat adanya keyakinan moral yang berbeda (Onder Bakircioglu, 2007: 712).

Dalam hal itu, ajaran margin apresiasi serupa dengan konsep diskresi yudisial: hakim dihadapkan pada keterbatasan undang-undang, preseden, atau kebiasaan untuk dapat memutuskan suatu perkara dalam jajaran solusi yang mungkin. Di situ peran diskresi sangat diperlukan tidak hanya untuk menjembatani jurang antara hukum dan perubahan realitas sosial, tetapi juga menjawab masalah khusus perkara yang sedang diperiksa sehubungan dengan tiadanya preseden atau UU yang memadai.

Untuk kali pertama istilah ”margin apresiasi” dijelaskan oleh Pengadilan HAM Eropa dalam kasus Irlandia versus Kerajaan Inggris. Pengadilan menyatakan otoritas nasional berada dalam posisi lebih baik daripada hakim internasional untuk menetapkan dua hal: adanya darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa, dan sifat serta cakupan pengesampingan HAM yang diperlukan untuk mengatasinya.

Dalam kasus Hertzberg et al versus Finlandia, ketika pemerintah melarang acara televisi yang berkaitan dengan homoseksualitas, atas alasan untuk melindungi moral publik, Komite HAM PBB menyatakan bahwa pertama, moral publik sangat beragam. Tidak ada standar bersama yang bisa secara universal diterapkan. Akibatnya, berkaitan dengan perkara ini, suatu margin diskresi tertentu harus diberikan kepada otoritas nasional yang berwenang (Mashood A Baderin, 2007: 240).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com