JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan sembilan hal yang ditolaknya dalam draf RUU Keistimewaan DI Yogyakarta yang diusulkan oleh pemerintah. Dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR RI, Selasa (1/3/2011), Sultan menyebutkan 'sembilan' poin ini sebagai tinjauan khusus yang seharusnya menjadi konsideransi dalam pengambilan keputusan ke depannya.
"Secara khusus, ada sembilan catatan penting. Makna penting angka sembilan, semoga bisa memberikan sinyal proses ini berjalan maksimal dan memberikan manfaat kepada seluruh masyarakat DI Yogyakarta," ungkap Sultan diikuti senyum simpul mayoritas anggota komisi.
Berikut ini adalah sembilan catatan penting dari Sultan:
1. Sultan menolak judul draf RUU yang diajukan oleh pemerintah. Menurut Sultan, penggunaan kata 'provinsi DI Yogyakarta' tidak sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1950 tentang pembentukan DI Yogyakarta yang menyebutkan daerah ini setingkat provinsi. Menurut Sultan, DIY tidak sama dengan provinsi lainnya. Oleh karena itu, penulisan judul RUU seharusnya cukup dengan 'RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta' dan tidak menggunakan kata provinsi.
2. Menurut Sultan, dalam konsideran draf yang diajukan, pemerintah tidak mencantumkan dasar filsafat Pancasila yang seharusnya menjadi dasar filosofis kenegaraan. Persoalan RUU DI Yogyakarta, lanjutnya, berada di tataran sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
3. Sultan juga menolak penggunaan nomenklatur gubernur utama dan wakil gubernur utama karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 di pasal 18 yang menyebutkan bahwa provinsi atau daerah istimewa dipimpin gubernur. Prinsip gubernur dan wakil gubernur utama dinilai melanggar prinsip negara hukum. Penggunaan istilah ini dinilai sama saja kekuasaannya makin dipersempit.
4. Istilah gubernur dan wakil gubernur utama juga dinilai mengandung resiko hukum yang besar bagi eksistensi DI Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta diperkirakan bisa hilang saat ada pihak yang mengajukan uji materiil terhadap UU ini dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi nantinya.
5. Sultan berpendapat bahwa peraturan keistimewaan Yogyakarta seharusnya tak diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa karena itu tidak menjadi ciri asli Yogyakarta dan lebih hanya meniru pengaturan di Aceh dan Papua. Menurut Sultan, lebih baik diatur dalam perda biasa.
6. Sultan juga menilai pemerintah salah dalam menyebutkan batas wilayah DI Yogyakarta. Dalam draf disebutkan batas wilayah di timur dengan Kabupaten Klaten, padahal secara rill dengan Kabupaten Sukoharjo dan Wonogiri.
7. Penyebutan Sultan dan Paku Alam sebagai badan hukum dalam persoalan pertanahan dan tata ruang juga dinilai tidak sinkron dengan penjelasan dalam draf yang menyebutkan keduanya sebagai badan hukum kebudayaan. Sultan curiga naskah akademik dan naskah RUU ini tidak sinkron.