Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ujian Demokrasi dalam Masa Transisi

Kompas.com - 01/03/2011, 03:08 WIB

Indah Surya Wardhani

Proses konsolidasi demokrasi di Sulawesi Tengah diwarnai nuansa primordial masa lalu yang mengakar kuat. Ditambah dengan relatif lemahnya berbagai elemen demokratisasi menyebabkan tak terhindarkan mengemukanya wacana politik yang pragmatis-transaksional.

Indikasi belum menguatnya elemen demokrasi itu cukup mudah dilihat. Memasuki periode kedua pilkada 2010- 2015, panggung politik lokal masih didominasi wajah-wajah lama, baik dari legislatif maupun eksekutif. Dari lima pilkada selama 2010, tiga di antaranya dimenangi petahana, yakni di Kabupaten Poso (Piet Inkiriwang), Kabupaten Tojo Una-Una (Damsik Ladjalani), dan Kota Palu (Rusdy Mastura). Pilkada Kabupaten Tolitoli dimenangi pasangan politikus berpengalaman dari klan berpengaruh, yakni Saleh Bantilan-Amran Haji Yahya, yang keduanya merupakan anggota DPRD Tolitoli.

Gejala itu juga mengemuka pada bursa pencalonan pemilihan Gubernur Sulteng pada 6 April 2011. Terdapat lima pasang calon yang seluruhnya merupakan elite lokal dengan latar belakang petahana, mantan gubernur, bupati, pejabat pemerintah daerah, politikus senior, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan akademisi. Hampir semuanya pernah mengikuti pencalonan pada pemilihan gubernur 2006. Kelima pasangan itu sesuai dengan nomor urut adalah Aminuddin Ponulele-Luciana Baculu (Golkar), Sahabuddin Mustapa-Faisal Mahmud (koalisi 16 parpol nonparlemen), Longki Djanggola-Sudarto (Gerindra, Hanura, PPP, PKPB, Patriot, PDP), Rendy Lamadjido-Bandjela Paliudju (PAN, PDS, PKPI, PBR), Achmad Yahya-Ma’ruf Bantilan (Demokrat dan PKB).

Aminuddin Ponulele dan Bandjela Paliudju adalah dua politikus senior yang mendominasi panggung politik Sulteng hampir dua dekade terakhir. Aminuddin Ponulele adalah Ketua DPRD Sulteng yang merupakan Gubernur Sulteng periode 2001-2006. Bandjela Paliudju adalah petahana Gubernur 2006-2011 yang mencalonkan diri sebagai wakil gubernur 2011-2016. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai gubernur pada periode 1996-2001.

Melihat kondisi itu, tampaknya terlalu dini menemukan arah konsolidasi demokrasi di Sulteng. Apalagi, bangunan demokrasi dibangun di atas rapuhnya kondisi sosial ekonomi. Hiruk-pikuk pilkada dan mahalnya praktik berpolitik menjadi paradoks di tengah kemiskinan yang membelit satu dari setiap lima penduduk. Selain itu, korupsi masih merajalela, antara lain menyangkut dana pemulihan konflik di Poso sebesar Rp 54 miliar yang hingga kini belum jelas pertanggungjawabannya.

Mengapa sirkulasi elite politik tampak demikian sulit berjalan di Sulawesi Tengah?

Mekar dari Provinsi Sulut, Provinsi Sulteng baru berdiri tahun 1964. Saat ini Sulteng dihuni 2,6 juta jiwa dan sebagian besar berdomisili di lembah Palu. Suku Kaili merupakan entitas suku terbesar dengan jumlah populasi sekitar 35 persen dengan sejumlah subetnis beserta langgam bahasa berbeda antara satu dan yang lainnya.

Terdapat entitas lain, yakni suku Bugis-Makassar yang meliputi sekitar 15 persen penduduk dan Gorontalo 4 persen. Transmigrasi yang saat ini sudah menurunkan generasi ketiga memperkaya komposisi, dengan suku Jawa sekitar 8 persen dan Bali 4 persen.

Namun, komposisi itu tidak serta-merta melonggarkan ikatan primordial. Pertukaran budaya tampaknya justru memperkuat komunalisme. Tahmidy Lasahido, sosiolog dari Universitas Tadulako, Palu, menyatakan konteks masyarakat Sulteng saat ini masih bersifat feodal yang sulit terlepas dari pengaruh kekuasaan pada masa kerajaan. Kondisi itu memengaruhi proses konsolidasi demokrasi yang masih mempertimbangkan klan, asal geografis, dan kekerabatan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com