Demikian disampaikan Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Salahuddin Sampetoding dan Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono secara terpisah di Jakarta, Selasa (11/1).
Kalangan pengusaha kehutanan dan perkebunan sawit menilai, pemerintah terlalu menuruti kemauan asing daripada mendengarkan masukan pemangku kepentingan domestik.
Pemerintah menyiapkan implementasi moratorium pemanfaatan hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun, sesuai perjanjian dengan Norwegia, mulai Januari 2011.
Saat ini, 398 anggota APHI mengelola 35 juta hektar hutan produksi, dan anggota Gapki memakai 7,9 juta hektar lahan.
Joko meminta pemerintah melihat kembali lebih komprehensif dampak implementasi moratorium. Dia khawatir, persiapan yang tidak matang bisa merugikan pembangunan ekonomi nasional. ”Moratorium kalau ragu-ragu jangan diteruskan. Kami minta dikaji ulang,” ujarnya.
Pengusaha perkebunan ataupun kehutanan khawatir, pemerintah bakal melarang mereka bekerja di konsesi yang ada. Ketua Bidang Hukum APHI Riza Suarga meminta, pemerintah transparan menjelaskan mekanisme moratorium agar tak berdampak negatif.
”Bagaimana konsep land swap yang dimaksudkan dalam moratorium. Kami minta pemerintah menghormati izin (konsesi) yang sudah ada,” ujar Riza.
Menanggapi hal ini, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menjelaskan, kebijakan ini berlaku untuk izin baru saja. Menhut mempersilakan pemegang izin lama tetap berusaha. ”Pada prinsipnya, tidak boleh menebang pohon di hutan primer dan lahan gambut. Ada juga berkembang di hutan sekunder tidak boleh. Untuk izin yang sudah ada, tidak masalah. Silakan bekerja,” ujarnya.
Pemerintah bersama lembaga swadaya masyarakat dan pemangku kepentingan menyiapkan regulasi untuk mengimplementasikan moratorium.