Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Otonomi Yogyakarta

Kompas.com - 03/12/2010, 03:11 WIB

Irfan Ridwan Maksum

Presiden SBY terkesan mempersoalkan nilai monarki dalam konstruksi pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Itulah yang mengundang reaksi keras berbagai kalangan atas pernyataan Presiden SBY dalam rapat kabinet terbatas pada Jumat (26/11) terkait dengan penyusunan RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Otonomi asimetris

Sebetulnya tak terlalu tepat menempatkan monarki dan demokrasi sebagai nilai-nilai yang saling beroposisi. Sebuah sistem monarki dapat hidup secara demokratis dengan efektif dan sukses seperti yang terjadi di Inggris, Jepang, Belanda, dan Monako. Sistem monarki di tingkat lokal pun dapat terjadi di negara demokratis dengan menempatkan struktur itu secara istimewa dan memiliki kekhasan tersendiri sehingga otonomi bersifat asimetris. Ini dicontohkan antara lain oleh India dan Malaysia.

Asimetris adalah lawan dari simetris yang berarti tak sama dan tak sebangun. Jadi, otonomi asimetris adalah otonomi yang diterapkan untuk semua daerah otonom di sebuah negara dengan prinsip tak sama dan tak sebangun, sedangkan otonomi simetris diterapkan untuk semua daerah otonom dengan prinsip sama dan sebangun.

Asimetris dalam pemahaman ini adalah asimetris struktur kelembagaan antardaerah otonom dan bukan daerah otonom terhadap pemerintah pusat, atau bukan pula asimetris dalam hal penyerahan urusan belaka. Asimetris jenis ini secara otomatis terjadi jika dikerangkai oleh sistem federal. Indonesia adalah negara kesatuan. Bagaimana caranya menampung nilai monarki kalau secara logika antardaerah otonom harus simetris otonominya?

Sistem kesatuan yang menampung monarki dengan asimetris kelembagaan hanya bisa dilakukan dengan menempatkan struktur monarki secara informal. Jadi, menempatkan struktur tersebut di luar struktur formal negara dan di luar sistem pemerintahan daerah, seperti desa dalam konsep Yamin yang menganggapnya sebagai otonomi kaki dari sebuah negara.

Atau, seperti zaman Soeharto dan zaman sekarang ini: penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menyebut istilah istimewa secara formalistik. Namun, jika ditanya istimewanya apa, kita semua tak tahu jawabannya secara tepat.

Kondisi sekarang ini terancam oleh masa jabatan gubernur yang dibatasi oleh dua kali masa jabatan. Mata telanjang awam akan mudah mengatakan bahwa terdapat pelanggaran nyata UU jika Sri Sultan terus jadi gubernur dalam aturan UU yang berlaku sekarang. Tentu ini membuat gerah semua pihak jika tak diantisipasi cepat. Jadi, RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah lama digodok harus segera dipikirkan keputusan akhirnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com