Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemekaran Masihkah Perlu?

Kompas.com - 02/11/2010, 03:25 WIB

Oleh M Fajar Marta dan Yulvianus Harjono

Laju pemekaran daerah di Provinsi Lampung berlangsung cukup pesat dalam dasawarsa terakhir ini. Sayangnya, pemekaran yang dilakukan kurang berhasil memenuhi tujuan awalnya, yakni mendekatkan akses masyarakat terhadap pelayanan publik, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah setempat. 

Justru daerah-daerah otonom baru kerap menimbulkan masalah baru, mulai dari tumpang tindih wewenang hingga menjadi ladang baru kolusi dan korupsi. Bagaimana daerah otonom baru sebaiknya dikelola agar bisa betul-betul bermanfaat bagi masyarakat banyak?

Sejak tahun 1990-an telah terbentuk sembilan daerah otonom baru di Lampung sehingga provinsi paling selatan di Sumatera itu memiliki 14 kabupaten/kota. Pada tahun 1991 lahir Kabupaten Lampung Barat. Pada 1997, dua daerah baru lahir, yakni Kabupaten Tulang Bawang dan Tanggamus.

Pada 1999 dibentuk tiga daerah baru sekaligus, yakni Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Timur, dan Kota Metro. Selanjutnya, pada tahun 2007, Kabupaten Lampung Selatan dimekarkan dan melahirkan kabupaten baru, yakni Pesawaran. Terakhir, pada 2008, muncul Pringsewu, Tulang Bawang Barat, dan Mesuji, hasil pemekaran kabupaten induk, yakni Tanggamus untuk Pringsewu dan Tulang Bawang untuk Tulang Bawang Barat dan Mesuji.

Pengamat otonomi daerah di Lampung, Syarif Makhya, mengatakan, meskipun telah berusia lebih dari sepuluh tahun, kabupaten hasil pemekaran, seperti Way Kanan, Lampung Barat, Lampung Timur, dan Tulang Bawang, hingga kini masih tergolong sebagai daerah tertinggal. Padahal, pemekaran sejatinya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan daerah otonom baru.

Kondisi itu terjadi karena terlampau banyak masalah yang menghadang. Peraturan mengenai otonomi daerah, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyangkut otonomi daerah, saja, kata Syarif, masih banyak kekurangan. Salah satunya adalah rantai birokrasi yang tidak efisien. Berdasarkan UU No 32/2004, kabupaten yang ingin membangun jalan harus melapor dulu kepada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.

”Peraturan-peraturan daerah juga harus dievaluasi pemerintah pusat sebelum diimplementasikan sehingga memperpanjang rantai birokrasi,” ujar Syarif.

Selain itu, kata dia, belum ada aturan jelas yang mengatur koordinasi kebijakan antara pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat. Ini mengakibatkan terjadi tumpang tindih kebijakan, terutama program-program yang berkaitan dengan isu-isu utama di daerah, semisal kemiskinan dan pengangguran. Misalnya, pemerintah pusat mengadakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM Mandiri), sementara pemerintah provinsi dan kabupaten juga melakukan hal serupa di daerah yang sama. Ini menunjukkan bahwa setiap pemerintah cenderung hanya melihat program sebagai proyek dan cara menghabiskan anggaran.

UU No 32/2004, kata Syarif, juga belum mengatur batas-batas kewenangan di antara setiap pemerintah secara jelas. Ini mengakibatkan, pemerintah provinsi, misalnya, menerobos kewenangan yang sebenarnya dimiliki pemerintah kabupaten.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com