Kuala Lumpur, Kompas
Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah di Kuala Lumpur, Kamis (2/9), mengatakan, pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menyinggung substansi hubungan kerja sama Indonesia dan Malaysia yang berdasarkan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM). Presiden lebih memilih memakai kalimat yang menonjolkan kepentingan ekonomi kedua negara tanpa memperlihatkan secara tegas keberpihakan terhadap nasib rakyat, terutama WNI yang sedang menghadapi persoalan hukum.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rieke Dyah Pitaloka, yang turut serta menemui sejumlah TKI dan anggota Parlemen Malaysia dari Partai PAS serta Partai Keadilan Rakyat, menambahkan, Presiden hanya melihat kedaulatan dan martabat bangsa dari sisi teritorial dan melupakan aspek terpenting, yakni nasib dan nyawa rakyat.
”Klaim keberhasilan Presiden tentang diplomasi perlindungan TKI masih jauh dari kenyataan. LOI (surat perjanjian) hasil kunjungan Presiden bulan Meli lalu ternyata hanya pepesan kosong karena sampai saat ini belum ada keputusan final yang bermanfaat bagi perlindungan pembantu rumah tangga migran Indonesia di Malaysia,” ujar Rieke.
TKI sektor konstruksi yang ditemui di kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur, Ghazali (36), mengaku kecewa mendengar pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak menyinggung sama sekali soal perlakuan buruk terhadap TKI di Malaysia. Pemerintah semestinya memanfaatkan kesempatan itu untuk meminta Malaysia bersikap lebih adil terhadap TKI.
Ghazali bersama rekannya, Mohammad Bahri (42), kini menanti pengungkapan kasus penangkapan, penganiayaan, dan pembunuhan tiga teman mereka oleh oknum polisi setempat. Abdul Sano, Sabrawi alias Mukhlis, dan Musti meninggal setelah diciduk polisi dengan tuduhan terlibat kejahatan bersama kelompok Gondol.
Menurut Wakil Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia Tatang B Razak, kedutaan terus mengawal proses hukum pembunuhan tiga WNI asal Madura tersebut.