Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Pancasilais adalah Tujuan Agama

Kompas.com - 10/08/2010, 03:05 WIB

Oleh Raka Santeri

Ketuhanan Yang Mahaesa sebagai sila pertama Pancasila tampaknya masih belum dihayati benar oleh masyarakat pemeluk agama ataupun oleh aparat pemerintah sendiri. Padahal, sila pertama ini adalah dasar yang memberikan ”roh” kepada empat sila yang lainnya.

Bukti kurang dihayatinya sila Ketuhanan Yang Mahaesa itu dapat kita lihat dari terus berlanjutnya kebencian yang disusul kekerasan atas nama agama tanpa tindakan berarti dari pemerintah untuk menghentikannya. Padahal, sebentar lagi kita memperingati ulang tahun ke-65 hari proklamasi kemerdekaan kita. Dalam usia ini, negara seharusnya sudah mampu memberi perlindungan kepada segenap warga masyarakatnya serta mencegah tindakan barbar dari mana pun datangnya.

Agama dan Tuhan

Faktor utama penyebab berlanjutnya kebencian dan kekerasan atas nama agama mungkin karena sebagian masyarakat kita lebih memuliakan agama daripada Tuhan. Mereka lupa bahwa agama— betapapun mulianya—adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan Tuhan Yang Mahasuci hanya bisa didekati dengan kesucian hati yang terpancar dalam perbuatan penuh kasih dan sayang: memberi dan melayani. Karena itulah pula, Tuhan disebut Mahapengasih dan Mahapenyayang.

Karena kecenderungan lebih memuliakan agama daripada Tuhan, maka wahyu Tuhan pun hendak dikapling-kapling. Kebenarannya dikotak-kotakkan menurut agama masing-masing, seolah Tuhan tak mampu menciptakan kebenaran universal bagi seluruh umat manusia. Pandangan, tindakan, atau sikap yang tampak berbeda dari ajaran yang diyakini segera dicurigai dan harus disingkirkan, dilawan, kalau perlu dengan tindak kekerasan.

Sikap pemeluk agama seperti itu ternyata menimbulkan kebingungan pada sejumlah orang. ”Buat apa agama kalau memecah belah di antara kita,” komentar seorang mahasiswa dalam suatu acara Mahasiswa Lintas Agama Se-Bali, 5-7 Agustus lalu.

Temannya yang lain bertanya, ”Dalam setiap agama terdapat ajaran yang berbeda-beda. Apakah ajaran Tuhan yang sesungguhnya?” Sebelumnya, saya mendapat undangan bedah buku Keyakinan Yang Membebaskan dan Kebohongan. Ternyata, penulisnya telah keluar dari agama yang dipeluknya dan kini hanya percaya kepada Tuhan.

Dalam kaitan ini menjadi relevan seruan kitab suci Weda yang berbunyi ”Om, anobadrah kratavo yantu visvatah” (Ya Tuhan, semoga kebenaran datang dari segala penjuru). Seruan Weda ini menganjurkan umat Hindu menerima kebenaran dari mana pun datangnya: dari ilmu pengetahuan, dari filsafat, dari mistik, dan dari ajaran agama ataupun kepercayaan lainnya.

Ukuran kebenaran adalah mampu lebih mendekatkan diri kepada Tuhan melalui empat jalan (catur marga): bhakti marga (kasih sayang yang tulus ikhlas), karma marga (kerja sebagai ibadah), jnana marga (ilmu pengetahuan untuk kebaikan manusia dan alam lingkungannya), serta yoga marga (mendekatkan diri kepada Tuhan melalui meditasi dan samadi). Kekayaan budaya menjadi cara pemujaan yang paling umum dalam bhakti marga, seperti terlihat pada meriah dan indahnya sesajen dalam upacara-upacara di Bali.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com