Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Vrijman Menjadi Preman

Kompas.com - 01/07/2010, 03:56 WIB

KOMPAS.com — Vrijman atau orang bebas masih saja jadi buah bibir hingga abad ke-21 ini. Tentu saja, banyak yang akan mengernyitkan kening mendengar kata itu. Vrijman kurang beken dibanding kata preman, bahasa Indonesia dari vrijman. Meski, memang, arti kata itu sendiri mengalami perubahan makna sejak masa VOC hingga zaman kiwari atawa modern ini. Vrijman pada awal abad ke-17 bermakna orang yang bukan pejabat VOC, tetapi melakukan negosiasi atas nama si pejabat.

Intinya, kata preman punya arti orang merdeka, bebas, dan sangat terkait dengan prajurit dan polisi yang tidak memakai seragam, demikian ditulis Jerome Tadie dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta.

Istilah preman dengan konotasi kriminal baru muncul pada akhir tahun 1970, yaitu dalam serial Ali Topan, Detektip Partikelir. Tadie, berdasarkan beberapa literatur dan ulasan media pada akhir 1970 dan awal 1980, menuliskan, organisasi Preman Sadar—organisasi keamanan—dibentuk dengan hanya merekrut preman dan mantan narapidana.

Media pun makin bikin beken kata preman dan jadi hal yang biasa disebut dengan arti yang jauh dari arti sebenarnya. Karena preman kemudian bermakna penjahat, bandit, tukang palak, jambret, berandalan, gali, bahkan sampai ke pengamen jalanan yang lagaknya memeras penumpang di bus pun sering kali ditunjuk sebagai preman.

Pokoknya orang jahat; orang yang meminta uang tanpa kerja; orang yang menawarkan keamanan meski hanya ongkang-ongkang kaki, yang penting uang masuk kantong; orang yang meneror pihak lain. Preman tak lagi berarti prajurit dan polisi yang berpakaian sipil. Padahal, kenapa tidak kita sebut saja mereka bandit, tukang palak, berandalan.

Lebih pantas karena intinya melawan hukum demi kepentingan diri dan kelompoknya. Sementara preman atau vrijman memang bukan kata yang merujuk pada kejahatan.

Menarik jika melihat jauh ke belakang, persoalan jagoan, jawara, bandit sudah ada sejak abad silam. Beberapa waktu lalu Warta Kota membahas tentang jagoan atau bandit pada masa kolonial. Jagoan jika dilihat dari warga setempat, bandit di mata pemerintah kolonial, contohnya si Pitung.

Meski dalam penelitian Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till berjudul Colonial Criminals in Java 1870-1910 yang terangkum dalam buku tulisan Vicente L Rafael dan Rudolf Mrazek, yaitu Figures of Criminality in Indonesia, Philippines, and Colonial Vietnam, mereka menyatakan perlakuan para bandit atau jawara yang sering kali disamakan dengan Robin Hood dinilai kurang tepat pada beberapa bandit/jawara itu.

Koran Bataviaasch Nieuwsblad pada abad ke-19 menurunkan tulisan berseri berjudul Onze Mafia (Our Mafia). Koran ini fokus pada kisah Si Gantang, penjahat yang dijatuhi hukuman mati tetapi berhasil lolos setelah enam tahun dipenjara.

Si Gantang berhasil memperolok polisi kolonial sehingga sulit ditangkap. Ia bahkan membangun kekuatan sendiri, mengutip pajak dan menuntut jasa penduduk lokal. Intinya, gerombolan Si Gantang ini berlagak seperti penguasa dengan janji, penduduk akan aman dari ancaman pencuri. Padahal, mereka sendirilah bandit yang mengambil hak milik para petani dan merampok rumah warga Tionghoa dan Eropa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com