Oleh Edy M. Ya`kub
Tidak seperti halnya dengan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah merupakan persyarikatan yang tidak pernah terlibat langsung dengan politik praktis.
Kalau NU pernah menjadi partai politik yakni Partai NU (1955), maka Muhammadiyah tidak pernah mengalaminya, kecuali empat model "pernikahan" dengan parpol.
Persyarikatan yang didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada 18 November 1912 atau bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriah itu pernah melakukan "pernikahan resmi" dengan parpol ketika menjadi anggota istimewa dari Masyumi.
Namun, gerakan Islam modernis yang didirikan KH Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis itu juga pernah melakukan "pernikahan siri" dengan parpol ketika pendirian Parmusi (Tanwir Ponorogo).
Selain itu, Muhammadiyah pernah melakukan "nikah mut`ah (kontrak)" ketika sebagian pengurusnya terlibat dalam pendirian PAN, tapi akhirnya ditinggalkan parpol bentukan Amien Rais itu.
Model paling akhir justru bukan "pernikahan", melainkan "perceraian" organisasi pemurnian dan pembaruan Islam itu dengan parpol sebagaimana dirumuskan dalam Tanwir Denpasar (2001).
"Relasi Muhammadiyah dengan parpol itu sebenarnya sudah cukup jelas, karena Muhammadiyah secara historis tidak boleh berpolitik praktis," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsudin, di Surabaya (16/3/2010).
Setelah menjadi pembicara utama dalam seminar pramuktamar di Gedung PW Muhammadiyah Jatim, ia mengatakan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah itu mencakup seluruh bidang kehidupan, termasuk politik.
"Tapi, politik dan partai politik itu berbeda. Sejak sidang tanwir di Denpasar pada tahun 2001, Muhammadiyah bertekad mengintensifkan politik kebangsaan, sehingga Muhammadiyah tetap terlibat dalam politik," katanya.