Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Indonesia dari Sepeda

Kompas.com - 23/06/2010, 10:45 WIB

Kring kring gumaguse, numpak pit kring den baguse Mentas saka toko, merek simplex nganggo berko Simplex nganggo berko, simplex nganggo berko Aja menga-mengo, aja menga-mengo Yen nabrak angkring saoto

(Kring kring gagahnya, naik sepeda Den Baguse Baru keluar dari toko, merek Simplex memakai berko Simplex memakai berko, simplex memakai berko Jangan tolah-toleh, jangan tolah-toleh Nanti nabrak gerobak soto)

Itulah lagu rakyat ketika dulu sepeda menjadi simbol status sosial priayi. Alangkah gagahnya naik sepeda: Simplex dengan lampu berko.

Minggu pagi akhir bulan lalu, Simplex dengan cap berko itu menemukan kembali pamornya. Ribuan ontel merek Simplex, Gazelle, Fongers, Batavus, Raleigh, dan sejumlah merek lainnya diarak ”den baguse” keliling kota dalam Festival Malang Kembali.

Pawai sepeda tua ini diikuti penggila sepeda dari beberapa kota, yang mendandani ontel masing-masing dengan pernak-pernik, mulai dari lampu karbit hingga bel yang bunyinya seperti lenguhan kerbau. Makin tua sepedanya, makin asli onderdilnya, makin bangga penunggangnya.

Kebanyakan ”den baguse” bersepeda itu kaum sepuh. Namun, ada juga anak muda, bahkan ada pasangan yang membawa anak. Mereka berkostum aneka rupa, mengingatkan pada nuansa masa lalu. Ada yang berkostum warok, surjan dan belangkon, noni Belanda, serta pasukan PETA bentukan Jepang lengkap dengan samurai.

Kenangan masa lalu memang penyemangat utama mereka. Obsesi ini bagi sebagian orang bahkan menjadi semacam candu yang mendorong untuk memburu ontel hingga ke pelosok desa, padahal hanya untuk ditunggangi dalam pawai atau bahkan hanya untuk dielus-elus. Seorang kolektor bisa memiliki ratusan ontel, seperti Basuki dari Kediri, Jawa Timur, yang mengoleksi lebih dari 500 ontel.

Paguyuban sepeda ontel pun bermunculan di setiap kota di Jawa, juga di kota di luar Jawa, seperti Palembang, Padang, Banjarmasin, dan Balikpapan. Anggotanya mulai dari pejabat pemerintah, anggota dewan, polisi, tentara, pengusaha, guru, hingga mahasiswa. Dan, hampir setiap bulan mereka berpesta dan berpawai dengan sepeda tua.

Maraknya penggila ontel hanyalah satu warna dari munculnya gerakan bersepeda. Dalam arus lain, penganut gerakan sepeda untuk bekerja (bike to work) juga mewabah. Para penggowes yang rata-rata dari kalangan ekonomi mapan ini rela berpanas-panas demi bersepeda ke tempat kerja. Sekalipun mereka mesti bersaing dengan kendaraan bermotor yang ugal-ugalan karena tiadanya dukungan jalur sepeda.

Di beberapa kota, tuntutan pada lalu lintas tanpa kendaraan bermotor telah mendorong pengharaman kendaraan bermotor melintas pada satu hari tertentu di ruas jalan tertentu (car free day). Fenomena ini bisa dibaca sebagai kerinduan warga pada lalu lintas dan ruang kota ramah lingkungan.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com