Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sita Harta Kekayaan Koruptor

Kompas.com - 07/04/2010, 04:25 WIB

Jakarta, Kompas - Hukuman berat wajib diterapkan terhadap para koruptor. Pola pemiskinan dengan cara merampas atau menyita harta kekayaan koruptor, pemberian sanksi sosial, dan penerapan hukum yang tegas dinilai efektif untuk menekan korupsi yang semakin merajalela di Indonesia.

Demikian rangkuman pandangan yang disampaikan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, mantan Pelaksana Tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Tumpak Hatorangan Panggabean, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Jimly Asshiddiqie, peneliti senior LIPI Ikrar Nusa Bhakti, dan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki yang dihubungi secara terpisah, Selasa (6/4).

Menurut Zainal, korupsi karena keserakahan dilakukan oleh pegawai atau pejabat yang sudah memiliki gaji tinggi. Biasanya dilakukan dengan cara menjual kewenangan yang dimiliki karena jabatan atau posisinya.

Menurut Zainal, remunerasi tidak akan cukup untuk menekan korupsi karena keserakahan. Pasalnya, remunerasi diberikan tanpa diikuti peningkatan pengawasan, serta penegakan hukum yang masih setengah hati.

Salah satu cara yang paling memungkinkan untuk memberantas korupsi karena keserakahan adalah dengan memiskinkan koruptor. Pemerintah harus mencari pola-pola pemiskinan, seperti merampas dan menyita harta kekayaan atau aset pejabat korup. Aset milik koruptor itu bisa dikelola oleh negara dan hasilnya bisa digunakan untuk menambah pendapatan negara.

Selain itu, penegakan hukum juga harus dipertegas. Sebab, selama ini, hukuman yang diberikan kepada para koruptor belum maksimal. Buktinya, hukuman seumur hidup bagi koruptor yang diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi belum pernah diberlakukan. Padahal, hukuman berat itu penting untuk memberikan efek jera.

Langkah lain adalah dengan mempersulit pemberian remisi pada koruptor. Bahkan jika memungkinkan, remisi bagi narapidana kasus korupsi dihapus. Upaya lain adalah mengaryakan narapidana korupsi, menjelang akhir masa penahanan. Misalnya dengan mempekerjakan mereka sebagai buruh perkebunan, penyapu jalan, dan semacamnya.

Sanksi sosial

Maraknya praktik korupsi itu diyakini terjadi lantaran ”kontribusi” dan ”dukungan” dari masyarakat sendiri, yang menganggap praktik korupsi sebagai suatu hal biasa. Kalaupun ada pelaku yang dihukum, hal itu dianggap sekadar kesialan.

”Masyarakat yang masih feodal, kan, melihat pejabat itu hidupnya harus mewah. Mobil dan rumahnya harus bagus dan mahal. Kalau tidak sesuai ekspektasi, masyarakat lalu seolah menyalahkan. Kondisi begitu pada akhirnya mendorong orang untuk korupsi,” ujar Ikrar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com