Yogyakarta, KOMPAS
Koordinator Lapangan Ruang Publik Biennale Jogja X-2009 Bambang Heras menuturkan, gencarnya pemberitaan media terhadap dua kasus pembongkaran karya oleh petugas dari Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta membuat dinas lain memerhatikan kasus tersebut. Mereka mendatangi panitia Biennale di Taman Budaya Yogyakarta untuk memperjelas persoalan.
”Kami jelaskan, Biennale ini justru merespons cita-cita Wali Kota yang ingin memperindah kota dengan patung-patung karya seniman Yogyakarta. Karya Yulhendri yang kemarin dibongkar itu juga kami jelaskan maksudnya,” kata Bambang Heras, Selasa (15/12).
Dari pertemuan tersebut, lanjut Bambang, panitia Biennale dan Dinas Pariwisata, Dinas Perhubungan, serta Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta akan kembali bertemu. Pertemuan itu akan memetakan ulang titik-titik penempatan karya di Kota Yogyakarta agar ke depan tidak ada lagi kesalahpahaman antara panitia dan aparat pemerintah.
Menurut dia, dukungan dari Gubernur dan Wali Kota saja ternyata tidak menjamin sosialisasi bisa sampai ke tingkat bawah. Meski begitu, kurangnya sosialisasi bukan alasan untuk menggusur karya tanpa dasar yang jelas. ”Seharusnya ada dialog dulu dengan panitia. Kalau memang terbukti mengganggu masyarakat, kami siap memindahkan. Jangan langsung curiga, padahal karyanya belum jadi,” katanya.
Secara terpisah, Camat Jetis Kota Yogyakarta Sisruwadi mengatakan bahwa pembongkaran karya tersebut dilakukan Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta atas permintaan kelompok tertentu dalam masyarakat. Namun, ia enggan menyebut nama kelompok tersebut.
”Saya malah tidak tahu ada patung di situ. Namun, karena ada laporan, dinas ketertiban kota membongkarnya. Sebab kalau tidak segera dibongkar, kami khawatir pemasangan patung itu akan jadi masalah besar. Walaupun itu ekspresi seniman, kan belum tentu diterima masyarakat,” ujarnya.
Sejauh ini sudah ada dua karya dalam Biennale Jogja X yang dibongkar Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta. Karya itu adalah instalasi kolaborasi perupa Agustioko dan pematung Ronnie Lampah berbentuk lingga dan yoni berjudul ”Like Star on The Sky” serta patung bergaya Eropa yang dipadu dengan gunungan jawa berjudul ”Ada Diantaranya” karya Yulhendri.
Secara terpisah, Kepala Bagian Humas dan Informasi Pemerintah Kota Yogyakarta Edi Herman Sulistio mengatakan bahwa semua karya, apalagi yang dipamerkan di ruang publik, diperuntukkan dan dikonsumsi oleh masyarakat, bukan lagi seniman penciptanya.
Menurut dia, ada sebuah pesan yang dibawa oleh karya seni kepada masyarakat yang menonton. Jika pesan yang disampaikan bisa dicerna dengan mudah oleh masyarakat, maka mereka akan memahami. Namun, jika pesan yang disampaikan itu tidak sampai kepada penonton, maka masyarakat juga tidak akan bisa mengapresiasinya dengan baik.
Herman menabahkan, Pemkot Yogyakarta menyambut baik ajang Biennale ini karena itu menjadi bukti bahwa Yogyakarta adalah kota budaya. Biennale juga membuktikan bahwa Yogyakarta tidak hanya memiliki banyak seniman, tapi juga memiliki banyak karya.