Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Simbolisasi Gunungan Megono

Kompas.com - 02/12/2009, 13:17 WIB

Oleh Akhwan J Saputra

Setiap simbol memiliki makna atau pesan tertentu. Pelbagai tradisi yang secara turun-temurun dilestarikan dengan cara-cara tertentu biasanya juga memuat pesan yang dimaksudkan memberi pelajaran bagi masyarakat yang melestarikannya. Tanpa filosofi yang menyertainya, sebuah tradisi hanyalah praktik hidup hura-hura.

Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang masyarakatnya kaya akan pelbagai ritus yang sarat makna. Masyarakat Jawa, misalnya, yang khas dengan kehidupan agraris memiliki tradisi yang amat banyak. Dari lahir hingga kematiannya, tak lepas dari ritual-ritual, baik selamatan atau syukuran.

Masyarakat Pekalongan termasuk dalam kategori masyarakat yang gemar menyelenggarakan acara selamatan dan syukuran. Baik itu yang bersifat personal maupun sosial. Personal contohnya syukuran kelahiran si jabang bayi, sedangkan yang sosial misalnya syukuran atas hasil panen yang melimpah.

Dalam beberapa tahun belakangan, Pemerintah Kabupaten menyelenggarakan ritual gunungan megono bertajuk Kirab Gunungan Megono di daerah wisata Linggo Asri setiap bulan Syawal, tepatnya pada tanggal tujuh Syawal. Ritual ini termasuk baru. Sebab secara tradisi masyarakat tidak mengenal gunungan atau tumpeng raksasa yang dibuat dari nasi megono. Biasanya tumpeng dibuat dari nasi kuning yang memiliki makna filosofi tertentu.

Entah siapa penggagas ide gunungan megono ini. Namun, penulis kira latar belakang gagasan ini adalah bahwa Pemkab ingin memiliki ritus khas yang berbeda dari wilayah tetangganya, Kota Pekalongan, yang memiliki tradisi lopis raksasa.

Kirab gunungan megono kemudian didesain sedemikian rupa agar menjadi tradisi warga Kabupaten Pekalongan yang diselenggarakan setiap bulan Syawal. Agar ciri khas sebagai kota santri tampak maka kirab diiringi musik rebana dan shalawatan serta didahului dengan doa oleh seorang ulama. Mengapa kirab dipusatkan di kawasan Linggo Asri? Tentu Pemkab bermaksud mempromosikan wisata Linggo Asri kepada masyarakat Pekalongan dan sekitarnya.

Agar pelaksanaan di lapangan tidak melenceng dari konsep awal, hendaknya ada evaluasi terhadap acara tersebut. Prinsipnya boleh saja mentradisikan sesuatu yang baik. Makna tumpeng

Dalam khazanah budaya Jawa, tumpeng sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu di Nusantara. Bentuknya yang mengerucut, bagi penganut Hindu, merupakan simbolisasi dari gunung (meru), representasi dari sistem kosmos (alam raya). Tumpeng yang biasanya terdiri atas nasi yang ditata sedemikian rupa hingga menyerupai miniatur gunung, di sekitarnya juga terdapat aneka sayur dan daging seperti ayam atau kambing. Ini melambangkan alam kehidupan yang terdiri atas tumbuhan, binatang, dan manusia. Bentuk tumpeng yang mengerucut ke atas bisa dimaknai sebagai harapan atas kehidupan yang lebih baik.

Dalam perkembangannya, pengaruh Hindu itu tidak hilang sama sekali meski Islam menjadi mayoritas, khususnya di Jawa. Ini tentu tak lepas dari upaya para Wali (Walisongo) yang menyebarkan agama Islam di Jawa. Para Wali tidak anti terhadap tradisi yang sudah telanjur menjadi ritual agama pendahulunya. Tradisi yang sudah mengakar tersebut tetap dijalankan dengan sedikit demi sedikit memasukkan unsur Islam di dalamnya sehingga terjadi akulturasi budaya Hindu dengan Islam (sinkretisme).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com