Jakarta, Kompas
Ketentuan tersebut dinilai melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi.
Ketujuh LSM itu adalah Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Mereka didukung oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Musdah Mulia, Dawam Raharjo, dan KH Maman Imanul Haq.
Mereka mempersoalkan ketentuan dalam Pasal 1 UU tersebut yang berbunyi, ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatannya”.
Selain itu, pemohon juga mempersoalkan Pasal 2 Ayat (1) dan (2), Pasal 3, serta Pasal 4a yang mengatur ancaman pidana atas pelanggaran Pasal 1. Disebutkan, pelanggaran pidana diancam dengan hukuman penjara maksimal lima tahun.
Kuasa hukum pemohon, Choirul Anam, menjelaskan, ketentuan tersebut jelas-jelas melanggar kebebasan memeluk agama dan keyakinan yang dijamin konstitusi. Pasal 1 UU itu menyebutkan secara jelas agama yang dimaksud adalah agama yang dianut di Indonesia. Pada bagian penjelasan Pasal 1 disebutkan, agama yang dianut ada enam (Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu). Ditambah lagi lima, di antaranya Sinto, Yahudi, dan Taoism, sehingga total berjumlah 11.
”Kami menilai, pembatasan ini melanggar kebebasan dan diskriminatif,” ujar Choirul.
Ia juga mempersoalkan pembatasan tafsir yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1.
Menurut dia, tafsir agama seharusnya tidak boleh dibatasi. Tafsir agama seharusnya dikembalikan kepada komunitas pemeluk agama yang bersangkutan. Apabila tafsir dikembalikan kepada komunitasnya, hal itu tidak akan menimbulkan persoalan yang besar.
Sementara itu, Ketua Majelis Hakim Arsyad Sanusi meminta para pemohon memerhatikan betul permohonan mereka. ”Ini masalah hak asasi manusia, lebih-lebih ini masalah keyakinan,” kata Arsyad.
Menurut dia, esensi Pasal 1 UU tersebut sebenarnya adalah larangan membuat tafsir dan melakukan kegiatan yang menyimpang.