KOMPAS.com-Pertanyaan pertama yang terlontar di antara kawan-kawan adalah ”mengapa Padang?” Pertanyaan itu menggelitik pikiran sekaligus menohok kesadaran kita yang terdalam, ”apa yang akan terjadi selanjutnya? Kapan akan terjadi lagi?”
Gempa Padang—getarannya terasa nyaris sampai jarak 500 kilometer (Pulau Enggano, Kota Jambi)—terjadi tepat berselang empat minggu dari gempa Tasikmalaya yang terjadi Rabu (2/9). Kekuatan gempa Padang tercatat 7,6 skala Richter (SR), tergolong gempa kuat.
Gempa memang tak bisa ditetapkan prakiraannya secara tepat: kapan dan di mana akan terjadi (Jadi, jangan pernah percaya kepada informasi yang menyebutkan secara presisi tempat dan waktu gempa yang akan terjadi!).
Yang selama ini telah dapat dilakukan para ahli gempa adalah memperhitungkan potensi dan peluang terjadinya gempa di suatu kawasan.
Demikianlah, sejumlah ahli gempa telah berkali-kali berkumpul mendiskusikan hal itu, terutama untuk kawasan barat Sumatera, yang berada dalam sistem subduksi (penunjaman lempeng samudra ke lempeng benua) yang sama yang terletak di Palung Sumatera.
Daerah tersebut merupakan zona subduksi Lempeng Eurasia yang menunjam ke Lempeng Indo-Australia. Zona tersebut, menurut ahli geologi dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Danny Hilman, aktivitasnya tinggi. ”Kecepatannya berkisar 5-7 cm per tahun. Angka ini menunjukkan aktivitas yang tinggi,” tuturnya.
Sudah diprediksi
Kejadian gempa yang merobohkan ratusan rumah dan puluhan gedung bertingkat ini bukan sesuatu yang tidak diperkirakan.
”Gempa Padang sudah diprediksi, diantisipasi, terutama setelah gempa besar Bengkulu tahun 2007,” tutur guru besar dan ahli gempa dari ITB, Sri Widiyantoro, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (30/9). Pada Rabu, 12 September 2007, terjadi gempa berkekuatan 7,9 SR yang mengguncang Bengkulu.
Prediksi tersebut berdasarkan hasil pengamatan sejak terjadi gempa 9,3 SR pada Desember 2004 yang membawa tsunami hebat di Aceh.