JAKARTA, KOMPAS.com -
Hal itu dikemukakan Mudzakir, anggota Tim Revisi KUHP yang mewakili pemerintah dalam sidang uji materi terhadap Pasal 160 KUHP di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (12/3). Permohonan uji materi diajukan Rizal Ramli yang saat ini dijadikan tersangka kasus penghasutan dalam aksi anarki unjuk rasa penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Mudzakir mengakui, ketentuan mengenai penghasutan diakomodasi dalam Pasal 288 Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP. Pasal itu dinilai masih diperlukan untuk mencegah terjadinya tindakan perusakan fasilitas umum yang pada umumnya memuat soal penghasutan.
Namun, ada perbedaan antara Pasal 160 KUHP dan Pasal 288 RUU KUHP, di antaranya rumusan penghasutan dalam RUU itu lebih sederhana. Yang dimaksudkan menghasut adalah menghasut orang melakukan tindak pidana dan menghasut orang untuk melawan penguasa dengan cara kekerasan.
Menurut dia, ketentuan mengenai penghasutan itu tak dapat dipertentangkan dengan kebebasan seseorang untuk menyampaikan pendapat yang dijamin konstitusi. Pasalnya, penyampaian pendapat tidak identik dengan menghasut orang lain. Menghasut adalah tindakan yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum dan kriminal.
Kegiatan menghasut, ujar Mudzakir, adalah melakukan hukum pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, tidak menuruti ketentuan UU, dan tidak menurut perintah jabatan berdasarkan UU.
”Kegiatan menghasut itu bersifat limitatif dan tidak bisa ditafsirkan secara meluas atau tidak terbatas,” ujar Mudzakir.
Ia menilai, tak ada pertentangan norma antara Pasal 160 KUHP dan Pasal 28, Pasal 28C, 28E, 28F Ayat 2 dan Ayat 3, serta Pasal 28F Ayat 1 UUD 1945.
Sidang menghadirkan saksi yang diajukan pemohon, yakni Adi Massardi. Di hadapan majelis hakim, Adi menyatakan, Pasal 160 KUHP sering dijadikan pasal karet yang digunakan penguasa untuk membungkam lawan politiknya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.