SOLO, SELASA — Komisi Pemilihan Umum (KPU) menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan penentuan calon legislatif (caleg) partai politik berdasar nomor urut—diganti berdasar suara terbanyak—tidak mengikat. Alasannya, MK bukan lembaga legislasi.
"Keputusan MK tidak punya kekuatan hukum yang mengikat. Keputusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa begitu saja dilaksanakan oleh KPU, karena KPU hanya tunduk kepada undang-undang," tegas Ketua KPU Hafiz Anshary di depan para peserta Rakernas IV PDI-P, di Hotel Sunan, Solo, Jateng, Selasa (27/1) petang.
Hafiz diundang DPP PDI-P untuk memberikan masukan kepada para peserta rakernas terkait rencana Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009. Selain Hafiz, DPP PDI-P juga mengundang Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono dan Ketua KPK Antasari Azhar.
Karena itulah, lanjut Hafiz, KPU berinisiatif mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mengatur pelaksanaan Pemilu 2009. Adapun tentang penentuan calon terpilih harus mengikuti urutan perolehan suara terbanyak—seperti telah diputuskan oleh MK— menurut Hafiz, juga masih menghadapi kendala tanpa adanya Perppu sebagai payung hukum.
"Namun, KPU bisa mengatur lebih lanjut putusan Mahkamah Konstitusi itu tanpa harus menunggu terbitnya peraturan, seperti Perppu," kata Hafiz.
Dia menambahkan, di antara keputusan KPU itu, penetapan suara sah tidak hanya ditentukan melalui tanda contreng pada nama partai, kolom nomor urut atau nama calon legislatif. Menurutnya, dicoblos pun akan dinyatakan sah, asal tidak dobel.
"Tapi, tolong peserta rakernas tidak menyosialisasikan keabsahan dengan coblosan, karena kami tidak menyediakan alat untuk mencoblos. Untuk sosialisasi, tolong dinyatakan dulu bahwa yang sah adalah yang surat yang diberi tanda contreng," pinta Hafiz.
Pernyataan Hafiz mengundang protes sebagian peserta rakernas. Peserta rakernas yang juga Ketua DPD PDI-P Papua Barat, Jimmy Demianus Ijie, misalnya, menuduh Hafiz dan KPU bereksperimen dengan menggunakan kewenangannya. Dia mengusulkan agar ada foto yang dicetak di surat suara. Alasannya, banyak warga Papua yang masih buta huruf.
Jimmy mencontohkan, pada Pemilu 2004, karena banyak warga buta huruf, masyarakat hanya menyerahkan surat suara kepada petugas pemungutan suara (KPPS) sekaligus meminta untuk mencobloskan tokoh pilihannya. Dia yakin, pada pemilu April mendatang pun masih akan seperti itu. (JUN/YAT)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.