Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membangun Kota (Sungai) Ramah Air

Kompas.com - 13/01/2009, 11:16 WIB

Oleh: Nirwono Joga*

Banyak asa yang disandarkan sehubungan dengan rencana Kompas melaksanakan Ekspedisi Ciliwung, 16-22 Januari 2009 (Kompas, 8-9 Januari). Semua tahu, Sungai Ciliwung identik dengan kota Jakarta, seperti halnya kita mengingat Baghdad dengan Sungai Tigris-nya, Kairo-Sungai Nil, London-Sungai Thames, Paris-Sungai Rheine, dan Melbourne-Sungai Yarra.

Indonesia merupakan negeri air dengan kebijakan tentang air termasuk yang terburuk di dunia. Dari total 472 kota dan kabupaten, hampir 300 kota dan kabupaten dibangun dekat sumber air, baik berupa danau, daerah aliran sungai, maupun tepi pantai. Namun, sudah lama pula sebenarnya kebijakan perencanaan kota kita dan pola budaya hidup warga menganiaya sungai dan mengingkari fitrah air.

Kebijakan tata kota kita tidak menghargai kesinambungan hidup air. Danau (situ), sungai, dan tepi pantai menjadi halaman belakang yang kotor dan tempat membuang limbah, sampah, dan hajat. Jakarta pun dijuluki kota jamban terpanjang di dunia.

Badan sungai menyempit dipenuhi bangunan (tak berizin) dan mendangkal akibat penggundulan hutan di hulu, erosi, dan sedimentasi. Situ-situ (tempat menampung kelebihan air hujan dan air sungai) justru diuruk atas nama kebutuhan lahan permukiman, tempat usaha, atau tempat buang sampah!

Air berubah menjadi sumber malapetaka. Sungai (dan saluran air) penuh sampah, berwarna hitam pekat, menebar aroma tak sedap, dan sumber penyakit lingkungan (kolera, diare, gatal-gatal, dan demam berdarah). Air sungai sudah lama tak layak minum. Puncak kemurkaan air saat air pasang di tepi pantai (rob) dan pada musim hujan air sungai meluber membanjiri kota.

Lanskap kota tak akan bertahan tanpa air yang lestari. Sejarah mencatat, kota-kota besar dunia, beradab, dan masyhur adalah kota-kota yang dibangun dekat sumber air.

Tengok kota pesisir Sydney, Los Angeles, Miami, Barcelona, kota kanal Venice, Amsterdam, dan kota sungai London, Paris, Melbourne, Manhattan. Air ditempatkan (kembali) pada tempat yang sangat mulia dan bermartabat sebagai berkah sumber kehidupan warga dan kota. Bagaimana Jakarta dengan Sungai Ciliwung dan kedua belas sungai yang mengalirinya?

Jakarta terus mengalami kekurangan air bersih sepanjang tahun. Debit air sungai dan situ menurun dan tak lama lagi mengering. Air limbah rumah tangga dan air hujan melimpah ruah terbuang percuma begitu saja melewati saluran air langsung ke sungai dan laut. Air tidak sempat ditampung dahulu ke daerah resapan air karena taman, situ, rawa-rawa, dan hutan mangrove terus menyusut diuruk untuk pembangunan kota yang tak berkelanjutan.

Fenomena pemanasan global dan degradasi kualitas lingkungan memaksa Jakarta harus membangun kota (sungai) ramah air untuk menghidupkan kembali air dalam tata kotanya. Ini sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Permendagri No 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com