Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Nyinden" dan "Nyiter" untuk Bertahan Hidup

Kompas.com - 09/10/2008, 06:36 WIB

”Kowe nangis yo? Wis ojo nangis,” hibur Kamiyem (50) kepada Sriyatun (40) yang tiba-tiba merebak air matanya saat mengingat setiap hari harus tidur berjejal dengan sesama pengamen musik tradisional.

"Enggak, aku enggak nangis. Aku ini pilek,” kata Sriyatun mencari alasan sambil mengalihkan wajahnya dari tatapan orang-orang di sekitarnya.

Sebelumnya, sambil sesekali melempar senyum, Sriyatun menceritakan kisah hidupnya kepada Kompas. Sriyatun, perempuan asal Ngawi, Jawa Timur, sudah sekitar 20 tahun menjadi pesinden keliling, termasuk di Kota Solo, Jawa Tengah. Empat tahun terakhir, ia bersama empat rekannya, Pawirorejo (83), Kamiyem, Marjuki (60), dan Zainah (80), menjadi ”musisi” tetap yang mangkal di depan rumah makan Pecel Solo di Jalan Dr Supomo, Solo.

Sekilas pandang saja, kelompok tua-tua ini menjadi bagian wajah Solo dan tradisi Jawa yang ngelangut dan antik itu.

Penghasilan kelimanya dengan mengamen sejak pukul 10.00 sampai pukul 15.00 atau 16.00 dirasakan lumayan. Dalam sehari setidaknya masing-masing bisa membawa pulang Rp 20.000.

Dengan makan siang disediakan oleh rumah makan Pecel Solo, menurut Sriyatun, setiap hari ia bisa menyisihkan Rp 7.000 setelah mengeluarkan uang untuk makan dan kebutuhan sehari-hari lainnya. ”Jika uang sudah terkumpul cukup banyak, saya bawa pulang. Uangnya untuk jajan anak, bayar sekolah, dan ongkos bolak-balik ke kampung dari Solo,” kata Sriyatun di tengah petikan suara siter dan lantunan rekannya menyinden.

Saat pengunjung rumah makan sangat ramai dan murah hati, masing-masing bisa membawa Rp 75.000 dalam sehari, seperti saat Lebaran kemarin.

Menjadi pesinden awalnya ”kecelakaan” bagi Sriyatun. Ia sebelumnya buruh tani tebu. Lalu, ia diajak temannya ke Jakarta. ”Eee ... bukan kerja di Jakarta, malah diajak jadi sinden keliling di Pacitan. Pernah juga saya mengamen di Ngawi. Tapi, di sana sepi. Jadi, kami pindah ke Solo,” ujar Sriyatun yang kini fasih mendendangkan tembang Jawa Caping Gunung, Ali-ali, dan banyak lagi lagu yang mengiris hati.

Hal serupa dialami Marjuki. Sudah 40 tahun ia mengamen. Keahliannya bermain gendang. Agar mengirit biaya, ia dan rekan-rekannya sesama pengamen musik tradisional dari Ngawi menyewa sebuah kamar kos di Kampung Pringgading, Kelurahan Stabelan, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo. Kamar kos berukuran 5 x 4 meter itu tidak jarang ditempati 14 orang sekaligus, paling sedikit 4-6 orang.

Biaya sewanya, menurut Sriyatun, Rp 1.500 per hari dan hanya dibayarkan bila menginap di kamar itu. ”Teman-teman dari Ngawi berasal dari Brangkal, Geneng, Munggut, dan Dungprau. Kami semua sudah seperti saudara, saling bantu bila ada kesulitan. Tapi, soal utang, ya, tetap harus bayar,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com