Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjaga Identitas Kesenian Rakyat Banjar

Kompas.com - 08/09/2008, 22:12 WIB

Oleh M SYAIFULLAH

Jalannya perlahan saat menyambut tamu di rumahnya. Bakhtiar Sanderta, seniman Banjar ini usianya sudah 69 tahun, tetapi pemikiran dan usahanya melestarikan seni pertunjukan tradisional belum berhenti. Januari 2008 dia menjadi salah satu dari 27 seniman tradisi Indonesia yang menerima penghargaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Pria kelahiran Awayan, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, ini bulan lalu menerima kabar dari pejabat Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kalsel yang menyebutkan bahwa dia salah satu dari 27 seniman tradisi Indonesia penerima penghargaan Maestro Seniman Tradisi dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

"Saya hanya diberi kabar lisan adanya penghargaan itu. Saya berterima kasih kalau memang itu (penghargaan) ada. Setidaknya upaya kita menjaga keberadaan seni pertunjukan rakyat Banjar tak sia-sia," ucapnya.

Bakhtiar menjadi salah satu rujukan seniman yang belajar memainkan seni pertunjukan Banjar. Dia tergolong produktif membuat
naskah drama. Karya itu sebagai buah pergaulannya dengan para seniman tradisi yang secara intensif dia lakukan sejak 20 tahun terakhir. Ia juga memiliki sedikitnya 30 naskah drama kesenian Banjar klasik. "Para seniman itu sudah banyak yang meninggal. Kalaupun ada, tak banyak yang bermain lagi karena usia lanjut. Dari persahabatan dengan mereka, saya menuliskan naskah cerita yang mereka mainkan. Selama ini mereka bermain tanpa naskah, kepandaian itu mereka dapat dari berguru secara lisan dan langsung," katanya.

Bakhtiar mewarisi darah seni dari ayahnya, Hasan (almarhum), seorang seniman madihin, seni bertutur berisi pesan moral dan humor
dengan iringan alat musik perkusi yang disebut terbang.

Sedari masa kecil hingga sekarang ia terlibat langsung dengan seni pertunjukan rakyat. Sebagai pegawai negeri sipil pada 1974,
Bakhtiar ditempatkan sebagai tenaga teknis kesenian pada Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kalsel. Di posisi ini ia tak hanya bertugas mendokumentasi seni pertunjukan rakyat itu, tetapi juga ikut bermain. "Wayang gong (wayang orang) Banjar dan mamanda (teater rakyat khas Banjar) sebagai seni teater kolektif tradisional memerlukan banyak orang. Saya sering ikut bermain untuk melengkapi. Istilah mereka sebagai bon, pemain cabutan. Saya tak pilih-pilih lakon, diberi peran apa pun, termasuk menjadi khadam (pelayan), saya laksanakan. Ibarat penelitian, saya membuat naskah setelah observasi partisipan," ceritanya.

Makin dalam

Keterlibatannya pada seni pertunjukan rakyat Banjar makin dalam setelah ia menjadi penilik kebudayaan. Di sisi lain karier PNS-nya
pun terus "menanjak". Setelah menjadi Kepala Seksi Kebudayaan Dinas P dan K Kota Banjarmasin, dia dipindah ke Kanwil P dan K Kalsel sebagai Kepala Seksi Bina Program Kebudayaan. Pembuatan naskah paling intensif dia lakukan saat menjadi Kepala Taman Budaya Banjarmasin.

Hasilnya, kata pria yang tinggal di Kompleks Kayu Tangi II, Banjarmasin, ini, kesenian Banjar seperti wayang gong dan mamanda
sampai sekarang bisa dipelajari oleh siapa pun tanpa harus berguru langsung atau ikut pertunjukan dari kampung ke kampung Bakhtiar juga berusaha mendokumentasikan kesenian tradisi Banjar lainnya, seperti madihin, kuda gepang carita (semacam kudang lumping yang membawakan cerita pewayangan), dan lamut (seni bertutur yang mengisahkan pesan moral dan percintaan dari negeri seribu satu malam), yang dibawakan dengan diiringi alat musik terbang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com