Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rusia (2): Glasnost, Perestroika dan Macetlah Moskwa

Kompas.com - 12/08/2008, 08:21 WIB

"Sekalipun Anda adalah multimilioner yang bisa hidup mewah di Moskwa, tapi uang Anda tak akan pernah mampu membeli kondisi jalan yang lancar dan bebas dari kemacetan di kota ini."

Begitu kira-kira salah satu kutipan dalam sebuah tulisan mengenai Moskwa yang saya baca sebelum meninggalkan Jakarta.

Kemacetan, ternyata, bukan hanya ikon Jakarta. Antrean panjang kendaraan di jalan raya adalah juga salah satu ikon di kota ini. Wah, luar biasa. Pikir saja,  Moskwa adalah salah satu kota di dunia yang sudah memiliki sistem transportasi massal. Tapi, masalah klasik lalu lintas, kemacetan, tak juga teratasi.

"Berapa lama perjalanan ke bandara Domodedovo?" tanya saya pada Vasilya.
"Kalau lancar, mungkin sekitar dua jam lebih sedikit," jawabnya.
"Kalau sekarang ini kira-kira macet enggak?" tanya saya lagi.
"Moskwa selalu macet," jawabnya sambil tertawa. "Jadi siap-siap saja," sambungnya.

Vasilya bercerita, di masa komunis dulu, Rusia yang bernama Uni Soviet tidak mengenal kemacetan. Tapi, semuanya berubah ketika Mikhail Sergeyevitch Gorbachev menghembuskan glasnost (keterbukaan) dan  perestroika (restrukturisasi) pada tahun 1985. Aneka barang dari luar Rusia mengalir masuk bagai air bah. Negara yang baru membuka diri ini menjadi pasar baru bagi produk-produk kapitalisme, termasuk aneka kendaraan roda empat. Gorbachev boleh tumbang bersama Uni Soviet, tapi arus deras globalisasi tak terbendung dan menancapkan kukunya sangat dalam di Rusia saat ini.

”Salah satu buntutnya ya kemacetan ini,” ujar Vasilya sambil tersenyum. Saya tidak bertanya, apakah dia senang atau tidak dengan jaman baru ini. Yang pasti saya mencium aroma bvlgari dari tubuhnya.

Sheremetyevo 2 terletak di utara kota Moskwa, sementara Domodedovo di selatan. Kami melintasi semacam ringroad di pinggiran kota sejauh 40 kilometer.

Menit-menit pertama kami keluar dari bandara, lalu lintas terlihat normal, lancar malah. Hanya saja udara panas di luar membuat mobil yang tak dilengkapi pendingin udara itu justru terasa sumpek, mirip bus ekonomi di Pulo Gadung.

Tapi lalu lintas yang lancar itu ternyata hanya sesaat. Di depan sudah terlihat antrean panjang yang memenuhi seluruh badan jalan yang memiliki lima atau enam lajur tersebut. Model jalannya persis seperti di tol Cikampek. Hanya saja, jumlah lajur di sini lebih banyak dan jalan tersebut bukan jalan berbayar, alias gratis.

Perlahan-lahan saya mulai mendapati perbedaan antara kemacetan di Jakarta dan Moskwa.  Bukan main! Dari tadi saya tak mendengar suara klakson! Mobil-mobil pun berjajar rapih di jalurnya masing-masing. Hampir tak ada yang saling serobot kiri kanan.  Antre, semua antre.

Puncaknya saat saya melihat sebuah truk tronton berukuran besar menyerempet sedan BMW di sebuah jembatan lingkar. Inilah biang kerok kemacetan yang mengekor panjang sejak beberapa puluh menit lalu.  

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com