Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketidakadilan Hukum Kasus BLBI

Kompas.com - 23/06/2008, 00:01 WIB

Oleh ROMLI ATMASASMITA

Kasus BLBI telah berjalan lebih kurang selama 10 tahun sejak krisis moneter tahun 1997/1998.

Langkah penegakan hukum yang dilakukan mengakibatkan pengambil kebijakan pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dijatuhi hukuman. Sementara dua direksi lain di-SP3-kan (surat perintah penghentian penyidikan) Kejaksaan Agung (Kejagung) dan sejumlah penerima BLBI dihukum.

Pemerintah menetapkan kebijakan hukum dan menggunakan UU No 25/2000 tentang Propenas dan payung politik Tap MPR untuk penyelesaian di luar pengadilan, diikuti Inpres No 8/2002 yang mengesahkan MSAA, MRNIA, APU, dan SKL.

Konsekuensi dari Inpres itu adalah dihentikannya penyidikan kasus BLBI oleh Kejagung. Namun, penghentian itu tidak merujuk pada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan.

Surat keterangan lunas (SKL) terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi kewajibannya) tidak memberi hasil maksimal bagi kepentingan negara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 6 Mei 2008, membatalkan SP-3 Kejagung yang telah dikeluarkan atas nama kasus SYN (BDNI) bertanggal 14 Juni tahun 2004, merupakan bukti bahwa payung hukum itu tidak memenuhi asas kepastian hukum dan belum berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Sementara pengembalian atas kerugian negara tidak mencapai 10 persen dari total dana BLBI yang telah disalurkan.

Menimbulkan ketidakadilan

Kepastian hukum dan keadilan dalam kebijakan hukum yang diambil pemerintah telah menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian tersangka/terdakwa serta masyarakat luas, bahkan tampak diskriminatif. Contoh nyata, mengapa obligor SYN dalam kasus BDNI masih diberi kebebasan untuk ”buron” ke luar negeri dengan alasan kesehatan dan mendapat izin Jaksa Agung, sedangkan tersangka/terdakwa lain tidak diberi perlakuan sama dan tetap dikenakan penahanan serta dituntut secara pidana.

Tertangkapnya UTG dengan uang sekitar Rp 6 miliar dari Art tiga hari setelah diumumkan bahwa Kejagung tidak menemukan unsur melawan hukum dalam kasus BDNI (SYN); dua kali keterangan Glenn Yusuf (mantan Kepala BPPN) di hadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengakui adanya suap dalam kasus BLBI; serta rekaman percakapan UTG dan Art, KyR dan Art, UUS dan Art yang dibuka dalam persidangan terdakwa Art ditambah rencana penangkapan Art oleh Kejagung dengan sepengetahuan Jaksa Agung membuktikan bahwa penegakan hukum kasus BLBI telah menciptakan miscarriage of justice.

Ini merupakan skandal besar kedua dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia setelah kasus dana BI. Rencana penangkapan Art oleh Kejagung juga melanggar Pasal 50 UU KPK (2002) yang tegas melarang kejaksaan atau kepolisian melakukan langkah hukum saat KPK sudah menangani kasus korupsi itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com