Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Masyarakat Bawah Belajar Demokrasi

Kompas.com - 05/06/2008, 14:07 WIB

Demokrasi bukan semata konsep, tapi juga praksis. Di Lembata, NTT, orang mengikuti kelas khusus untuk tahu bagaimana berdemokrasi yang benar.

RAFAEL Suban Ikun tidak pernah membayangkan dirinya bisa membuat seorang bupati tidak nyaman duduk di kursi jabatanya. Ia hanya petani dengan penghasilan tidak pasti di Desa Dikasare, Lebatukan, Lembata, Nusa Tenggara Timur. Bagi dia, bupati merupakan sosok yang jauh, elite, dan tak terjangkau.

Tetapi itu dulu, sekarang ia berani mendebat langsung bupati serta mengecam kebijakannya yang tidak memihak rakyat. "Para elite itu ternyata bisa grogi juga berhadapan dengan kita ha-ha...," kata Rafael di Pantai Lewolein, Desa Dikasare, Lebatukan, Lembata, Mei lalu.

Pertengahan April 2008, bersama sejumlah tokoh adat Lembata, ia dipanggil Bupati Lembata Andreas Duli Manuk. Dalam pertemuan, Andreas berbicara tentang rencana pembukaan tambang emas di pulau itu yang akan dilakukan oleh PT Meruk Enterprise, perusahaan tambang milik Yusuf Meruk. Andreas juga mengeluhkan aksi unjuk rasa tolak tambang yang antara lain dimotori Rafael. Andreas minta agar Rafael menghargai rencana pembukaan tambang tersebut.

Namun, bagi Rafael tidak ada tawar-menawar soal pembukaan tambang. Kampung tempat tinggalnya, Lewolein -sekitar 60 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Lembata- termasuk wilayah yang akan terkena proyek. Perairan Lewolein yang kaya ikan -bulan Mei sampai Oktober ada beberapa jenis ikan yang berenang sampai ke bibir pantai dan warga dengan menggunakan tangan bisa menangkap ikan-ikan tersebut- akan tinggal kenangan jika proyek tambang jadi. Soalnya, pantai Lewolein yang laksana firdaus itu akan menjadi tempat pembuangan tailing.

Sekolah Demokrasi

RAFAEL hanya satu dari sekian sosok masyarakat biasa Lembata yang kini berani bersikap kritis terhadap pemerintah. Gerakan reformasi memungkinkan lahirnya pribadi-pribadi yang berani dan kritis itu.

Kehadiran mereka tidak lepas dari peran Sekolah Demokrasi (SD) di Lewoleba sejak tahun 2005. Sekolah itu berdiri atas prakarasa KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi), sebuah lembaga nonpemerintah yang berbasis di Jakarta, yang menggandeng mitra lokal LAP (Lembaga Advokasi dan Penelitian) Timoris yang berbasis di Kupang. SD telah melahirkan agen-agen perubahan di pulau yang hampir setiap tahun dilanda kekeringan dan terancam kelaparan itu.

Direktur LAP Timoris, Hipolitus Mawar, mengatakan, SD memang bertujuan untuk melahirkan agen-agen demokrasi di tingkat akar rumput. Konsep demokrasi, katanya, mengandaikan adanya perkembangan wacana yang berkualitas dan partisipasi yang luas dari warga. Wacana berkualitas dan partisipasi luas hanya mungkin jika ada peningkatan pemahaman tentang demokrasi.

SD ingin mengembangkan demokrasi yang membumi dan kontekstual. Demokrasi, kata Hipolitus, sesungguhnya bukan barang baru bagi masyarakat di pelosok-pelosok Indonesia. Hampir setiap daerah punya tradisi demokrasi yang usianya sudah ratusan tahun. Di Lembata misalnya, dikenal tradisi hunahale atau motingmaung, yaitu tradisi pengambilan keputusan yang melibatkan semua warga kampung.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com