Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Depresi, Bukan Karena Lemah Iman

Kompas.com - 19/05/2008, 22:08 WIB

PAGI itu Bu Minah bingung. Uang belanja sudah mulai menipis. Sejak dua bulan lalu, suaminya sudah tidak lagi bekerja. Bulan ini anaknya yang duduk di sekolah dasar kelas enam mesti bayar sekolah. Sementara Ibu dua anak ini sebulan hanya menghasilkan sekitar 150 ribu rupiah saja dari hasil mencuci baju tetangganya.

Anak paling kecil terserang demam berdarah. “Wuuuuhhhh, pusingnya minta ampun!” Akibatnya, kepala perempuan usia 40 tahun ini pening dan nyeri. Rasanya setengah mati. Inginnya teriak dan dibentur-benturkan kepalanya ke dinding. Minah tidak doyan makan, tidur pun susah. Hari-harinya selalu diliputi dengan wajah murung.

Mencapai 20 Persen
Apa yang dialami Minah, bisa jadi juga dialami kebanyakan masyarakat kita. Situasi yang sulit terutama akibat himpitan ekonomi ini tidak jarang menyebabkan seseorang menjadi depresi, stress dan lepas kendali. Apalagi harga BBm bakal naik sebentar lagi. Orang kemungkinan bakal mulai depresi dengan semua ini.

Depresi. Kata ini menggambarkan bahwa seseorang sedang terpuruk. Situasinya serba tidak enak, penuh kemurungan dan tiadanya gairah hidup. Dalam dunia medis, Dr. Suryo Dhamono, Sp.KJ menyebutkan, depresi termasuk dalam kategori gangguan jiwa yang wujudnya antara lain berupa keadaan putus asa, rasa bersalah, tidak bisa tidur, tidak mau makan, kehilangan minat dan energi, dan orang menjadi pesimis. “Keadaan ini lazim kita temui di masyarakat kita, bahkan mencapai 20 persen dari seluruh jenis gangguan jiwa yang bisa dideteksi dokter,” jelas spesialis kesehatan jiwa dari RSCM ini.
 
Bahkan, menurut Suryo, prevalensi munculnya gangguan ini per tahun berkisar antara 5-10 persen. Smentara selama hidup, pada setiap orang prevalenssinya bisa mencapai dua kali lipat. “Wanita dalam hal ini dua kali lipat lebih banyak beresiko mengalami depresi daripada pria,” jelas Suryo.

Saying, bahwa masalah depresi di antara kita seperti sebuah gunung es. Pasalnya, “Hanya 20 persen orang yang mengeluh mengalami gejala depresi di puskesmas atau dokter. Sementara yang terdiagnosis sepertiganya dan yang benar-benar terobati 10 persen dari sepertiga itu,” ungkap Suryo.

Produktivitas Menurun
Keadaan seperti ini kemungkinan besar disebabkan oleh banyaknya orang yang tidak begitu mengenal apa sebenarnya depresi. Akibatnya, meski mereka depresi, karena tidak tahu dirinya depresi,  mereka tidak mau mengakuinya. Lagipula, dalam masyarakat kita, depresi sudah diasosiasikan dengan keadaan sakit jiwa. Suatu penyakit yang memalukan, menandakan orang kurang iman, kurang bertaqwa dan kurang gigih.

Rendahnya pemahaman masyarakat akan kesehatan jiwa ini menyebabkan maraknya sikap dan perilaku keliru terhadap persoalan gangguan jiwa. Keadaan ini membuat penderita depresi cenderung menyembunyikan keluhan-keluhannya dan enggan mencari upaya penyembuhan.
Tidak heran pula bila depresi menduduki rangking keempat sebagai penyebab utama beban penyakit di tahun 90-an. Dan kemungkinan di tahun 2020, akan naik kedudukannya di nomor dua sebagai penyebab setelah penyakit jantung iskemik.

Padahal, efek depresi jelas sangat tidak menyenangkan. Hilangnya konsentrasi, menurunnya minat entah makan atau beraktivitas apa pun serta gairah hidup menyebabkan turunnya produktivitas.  Ini terjadi karena adanya disregulasi neurotransmitter aminergik (hormon yang terkait dengan kewaspadaan) seperti serotonin (hormon yang mengatur perasaan), norepinefrin (hormon yang mempengaruhi energi interest), dan dopamine (hormon yag memengaruhi minat). Kekacauan hormon entah akibat genetic atau factor lain ini menyebabkan kacaunya seseorang.

Tidak heran, bila di bebagai negara, menurut Suryo sekitar 42- 70 persen kasus bunuh diri terjadi akibat depresi. Rangking pertama (81-95 persen) diduduki oleh gangguan mental lain. Karenanya, perlu segera ditangani bila seseorang terdeteksi mengalami depresi. “Ada banyak factor yang harus diperhatikan dalam penanganan depresi,” ungkap Suryo. Karena ada factor internal dan juga eksternal, penanganannya pun berdasar sebab yang ada.

Bila depresi terjadi karena konflik keluarga, maka konflik itu lah yang harus diselesaikan lebih dahulu. Jenis ini, tidak bisa diselesaikan dengan obat, tegas Suryo. Lain lagi bila seseorang depresi karena memang ada bakat. Dalam hal ini obat antidepresan yang akan berperan.

Dalam proses penyembuhannya, depresi tidak bisa diselesaikan dalam jangka pendek, sebulan atau dua bulan. Setidaknya butuh waktu setahun untuk bisa melihat hasilnya. “Itu pun harus didukung oleh berbagai pihak, entah itu keluarga, teman atau siapa pun juga,” jelas Suryo.

Di Amerika Serikat, sekurangnya-kurangnya mendekati 40 persen, para penderita depresi bisa sembuh lagi. Sementara 20 persen akan sembuh tapi masih saja akan mengalami depresi dalam skala ringan. Dan 40 persen sisanya, sulit diatasi. “Tidak tahu di Indonesia. Sorry, data valid belum ada,” jelas Suryo. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com