Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wayang dan Tingkat Apresiasi Kita

Kompas.com - 08/05/2008, 12:11 WIB

Oleh Susilo

Karena alasan memasyarakatkan wayang, banyak orang termasuk para dalang terjebak dalam kekeliruan berpikir. Mereka mengira untuk mengatasi masalah tingkat apresiasi seseorang yang ditimbulkan oleh faktor bahasa cukup dengan menyederhanakan persoalan melalui proses pementasan dengan menggunakan bahasa asing termasuk wayang berbahasa Indonesia.

Akhirnya sebagian besar pementasan wayang dengan menggunakan bahasa asing yang digelar oleh para dalang wayang (Jawa) menjadi kedodoran. Pergelaran wayang menjadi kering, kehilangan roh, dan tidak menarik karena dialog yang disampaikan dalam bahasa asing itu menjadi pating pecotot.

Tidak terbangun secara apik yang disebabkan oleh kesulitan para dalang dalam mentransformasikan bahasa asing itu sendiri. Kemudian muncul pertanyaan, apakah pementasan wayang tidak perlu menggunakan bahasa asing?

Pertanyaan serupa pernah dilontarkan kepada Ki Manteb Soedharsono, dan dijawab, Sangat perlu. Itu tantangan bagi dalang muda. Kalau saya dan seangkatan belum bisa mewujudkan, biarlah yang muda-muda mendalang dengan bahasa asing. Itu artinya Ki Manteb Soedharsono menyadari keterbatasannya untuk tidak perlu memaksakan diri.

Alih-alih mendapatkan apresiasi yang obyektif dan proporsional, justru dapat menurunkan kualitas pertunjukan wayang. Karena wayang kulit memang mempunyai latar belakang filosofi kehidupan dan budaya tradisi Jawa yang tidak mudah diekspresikan dengan bahasa lain. Kita tidak bisa menampik Wayang Suket yang diusung oleh Slamet Gundono, dan wayang berbahasa Indonesia oleh Sujiwo Tejo adalah di antara sedikit dari yang dianggap berhasil dalam mengolah transformasi bahasa wayang sehingga menjadi pertunjukan seni wayang yang utuh, kreatif, ekspresif, lancar, terjaga bangunan ceritanya, tidak kehilangan roh, dan enak ditonton!

Akan tetapi, keberhasilan itu masih dipandang kurang secara kuantitas bila dibandingkan dengan posisi kesenian wayang yang sudah diakui dunia sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Dulu sebelum tahun 1980-an, wayang masih merupakan tontonan favorit.

Setiap melakukan selamatan, ruwatan, sunatan, pernikahan, apitan (sedekah bumi), sedekah laut, tujuh belasan, tahun baru, dan peringatan hari besar lainnya orang masih sering merayakan dengan mengadakan pergelaran wayang kulit. Sehingga, waktu itu masih banyak anak-anak paham dengan tokoh dan lakon wayang. Menirukan mendalang dengan wayang kardus dan bermain umbul dengan kartu bergambar wayang. Namun, sekarang wayang telah menjadi tontonan yang sangat mahal sehingga pergelaran wayang kulit kini mulai surut di tengah-tengah masyarakat, bahkan di beberapa tempat kini mulai sirna.

Wayang kulit cenderung dipentaskan di instansi-instansi yang mempunyai cukup biaya untuk mempergelarkan, atau organisasi-organisasi partai politik yang sengaja memanfaatkan untuk kepentingan mobilisasi massa.

Model pelestarian

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com